Gajah #2
By Ahmad Sarwat, Lc.MA
Dalam banyak kitab Sirah Nabawiyah, para ahli sejarah banyak menegaskan bahwa tahun dimana Nabi SAW lahir itu adalah Tahun Gajah.
Unik juga memang penamaan tahun di masa itu, pakai nama peristiwa dan tidak pakai angka. Nanti tahun dimana Khadijah ibunda mukminin dan Abu Thalib sang paman wafat disebut dengan tahun duka cita.
Dan tahun dimana terjadi Perjanjian Hudaibiyah, disebut tahun Hudaibiyah.
Barulah kemudian di zaman pemerintahan Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu, tahun itu diberi nama pakai angka.
Dan ditetapkan angka penghitungan tahun dimulai sejak tahun terjadinya hijrah nabi SAW dari Mekkah ke Madinah.
Yang jadi ukuran memang tahunnya dan bukan bulannya, juga bukan tanggalnya. Hijrah Nabi SAW sendiri tidak terjadi pas di awal tahun, tapi di pertengahan bulan ketiga yaitu Rabiul Awwal, tepat tanggal 12.
Lalu tahun dimana terjadi hijrah itulah yang ditetapkan sebagai tahun pertama.
Kok Umar tidak menghitung sejak Nabi SAW dilahirkan? Atau kenapa tidak sejak turun wahyu?
Jawabannya panjang, tapi singkatnya karena ini mau mengukur usia pemerintahan. Bukan mengukur usia kelahiran Nabi SAW dan juga bukan mengkur usia turunnya Al-Quran.
Tapi efeknya jadi unik, karena kalau kita mau menyebut angka tahun kelahiran Nabi, jatuhnya jadi minus, yaitu 53 tahun sebelum hijrah.
Menghitungnya sederhana saja, pokoknya pas hijrah itu Nabi SAW berusia 53 tahun.
Namun kebanyakan menyebutnya cukup dengan sebutan Tahun Gajah (عام الفيل).
Menurut banyak riwayat, peristiwa penyerangan tentara bergajah itu hanya berjarak 50 hari saja sebelum kelahiran Nabi SAW.
oOo
Saya coba buka Tafsir Al-Azhar Prof. Buya Hamka, ketemu terjemahan atau penafsiran yang agak beda dengan terjemahan versi Kemenag.
Beliau tidak memaknai kaidahum (كيدهم) sebagai tipu daya, melainkan daya upaya. Dan fi tadhlil (في تضليل) diterjemahkan dengan: sia-sia.
Bukankah telah Dia jadikan daya upaya mereka itu pada sia-sia? (Lihat Tafsir Al-Azhar jilid 9 hal. 667)
Ini agak berbeda dengan terjemahan versi Kemenag RI.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka´bah) itu sia-sia? (QS. Al-Fil : 2)
Sedangkan burung Ababil, Beliau terjemahkan dengan makna :
Dia telah mengirimkan atas mereka burung yang berduyun-duyun.
Dan terjemahan ini sejalan dengan terjemahan Kemenag :
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, (QS. Al-Fil : 3)
Sedangkan batu dari Sijjil, beliau terjemahkan menjadi : batu siksaan. Sedangkan versi Kemenag : tanah yang terbakar.
oOo
Sedangkan Tafsir Al-Manar versi Muhammad Abduh mentakwilkan bahwa batu itu membawa penyakit cacar. Konon keterangan itu didapat dari Ikrimah. Dan riwayat menyebutkan bahwa sejak itu cacar mulai ada di Arab.
Menurut Buya Hamka, penjelasan Abduh itu bisa diterima dan menjadi isyarat penularan penyakit lewat hewan.
Oleh karena itulah hewan yang dibawa dari luar negeri itu harus dikarantina. Satu ekor pun perlu dikarantina, bagaimana bila ribuan burung yang berbondong-bondong.
oOo
Yang jadi pertanyaan, kalau tentara bergajah itu akhirnya pada terkena dampak dari bebatuan itu, lantas bagaimana dengan penduduk Mekkah?
Apakah mereka pada terkena dampaknya juga? Mengingat batu ini begitu mematikannya?
Jawabannya bahwa penduduk Mekkah justru aman.
Kok bisa?
Karena Abdul Muthalib segera mengajak penduduk Mekkah mengungsi naik ke atas gunung atau setidaknya bukit-bukit yang tinggi jauh dari kota Mekkah.
Itu terjadi sehari sebelum kedatangan pasukan gajah. Gara-garanya pasukan Abrahah datang merampas 200 ekor unta milik Abdul Mutthalib.
Karuan saja Abdul Muthalib datang meminta untanya dikembalikan. Adapun urusan Abrahah mau merobohkan Ka'bah, silahkan berurusan langsung dengan pemiliknya yaitu Allah SWT.
Uniknya Abrahah mengembalikan 200 unta itu dan mempersilahkan penduduk Mekkah untuk menyingkir.
Makanya besoknya Mekkah pun kosong melompong. Mereka menyelamatkan diri dari gajah yang pada datang.
Tujuannya memang untuk menghindari amukan gajah-gajah itu. Namun begitu gajah dimusnahkan, penduduk Mekkah justru jadi aman dari serbuan burung dan batu.
Saat terjadi serbuan burung itu mereka sembunyi. Tidak menyaksikan langsung peristiwanya. Hanya terdengar dari kejauhan suara gemuruh langkah-langkah gajah bercampur dengan hiruk pikuk orang perang.
Namun setelah itu tiba-tiba suasana hening, tidak lagi terdengar hiruk pikuk pasukan gajah, bahkan juga suara burung pun tidak terdengar.
Penasaran, lalu Abdul Muthalib pun memerintahkan putera bungsunya, Abdullah, ayahnya Nabi Muhammad SAW untuk turun gunung melihat-lihat keadaan.
Dan terkejutlah Abdullah melihat pemandangan dahsyat. Bangkai gajah dan pasukan manusia bergelimpangan. Memang sih masih ada satu dua pasukan yang sedikit kelihatan masih bernafas, tapi langsung mati setelah itu.
Uniknya, gajah dan pasukan mati semua, namun harta mereka masih utuh. Di zaman itu biasa memang orang perang itu bawa perhiasan mahal, biasa disebut ghanimah.
Dan para pemuka Quraisy sepakat bahwa Abdul Muthalib adalah pahlawan mereka. Sehingga harta yang ditinggalkan pasukan itu resmi jadi milik Abdul Muthalib.
Tidak lama setelah itu, Abdullah berangkat ke Madinah untuk berdagang. Namun umurnya tidak lama, karena justru di Madinah beliau wafat.
Sedangkan istrinya, Aminah sedang hamil besar lagi menunggu saat-saat kelahiran putera pertamanya.
Akhirnya bayi itu lahir tanpa pernah memiliki ayah yang menungguinya. Maka Abdul Muthalib sang kakek yang menanggung semua urusan pengasuhan sang cucu.
Selesai. . .
https://www.facebook.com/100000219936471/posts/4864229213594362/
0 Komentar:
Posting Komentar