rumah di angkinang
Hujan adalah rahmat. Tentu ini bukan kalimat basa basi. Banyak orang bergembira dengan datangnya hujan. Walau tidak sedikit pula yang merasa takut. Ini dialami oleh sebagian penduduk Jakarta dan Bandung. Yang terakhir malah dalam beberapa hari ini masih didera banjir dan tanah longsor. Sebuah musibah yang sarat pelajaran dan hikmah pastinya.

Siang ini tidak begitu lama hujannya, hanya hitungan menit. Bahkan curahan airnya masih bisa dibilang gerimis. Meski begitu, saya tidak mau mengambil resiko untuk menerobosnya. Biarlah menunggu sambil berbaring-baring di pelataran belakang masjid Ummu Sakinah Jalan Peseban Jakarta Pusat ini, sehabis menunaikan sholat Zuhur berjamaah.

Agar tidak merasa bosan, saya pergunakan hp samsung untuk mengakses laman facebook gratis. Alhamdulillah, walau tanpa foto, saya masih bisa membaca beberapa tulisan teman terakhir. Lumayan untuk menambah ilmu dan wawasan berpikir. Memang idealnya facebook digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat berbagi ilmu dan saling mengingatkan dalam kebaikan, bukan hanya untuk berkeluh kesah dan canda tidak karuan.

Ada tulisan menarik yang di-share teman saya Harry Santosa. Judulnya 'RUH' KAPITALISME MASYARAKAT INDONESIA. Ditulis oleh Akhmad Guntar. Disebutkan bahwa umumnya orang Indonesia punya pemikiran bahwa memiliki rumah adalah suatu keharusan, padahal kadang misal hanya dinikmati beberapa tahun saja. Ini berbeda dengan orang-orang di negera maju yang sudah merasa puas hidup di rumah kontrak atau flat.

Jika dipikirkan, tulisan ini memang ada benarnya. Kami adalah diantara orang Indonesia itu.Setelah menikah dan bekerja, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya memiliki rumah sendiri. Dan teman-teman satu kantor di Kalimantan pun demikian. Rasanya tidak ada yang berpikir untuk ngontrak rumah seumur hidupnya.

Sampai sekarang, saya dan istri masih saja dihantui tanda tanya jika terpikir soal rumah ini. Bisa nggak ya dengan gaji rata-rata di bawah 3 juta rupiah per bulan nya bisa bikin rumah sendiri? Jika harus menabung entah berapa puluh tahun harus menunggu. Umumnya membuat rumah sendiri akan menghabiskan duit hingga lebih seratus juta rupiah.

Dan jika tidak ingin menunggu, alternatif umumnya yang diambil teman-teman saya adalah dengan mengambil cicilan kredit perumahan. Atau pinjam uang di Bank, lalu bikin rumah. Saya termasuk orang yang bersikukuh untuk tidak menggunakan kedua cara tersebut. Sebabnya tidak lain karena keduanya masih terkandung riba. Dan ini jelas-jelas diharamkan dalam Islam!

Setelah membaca tulisan Akhmad Guntar tadi seakan tercerahkan. Mengapa tidak kontrak saja seumur hidup? Bayarnya perbulan atau pertahun saja. Sehingga uang tabungan yang awalnya untuk bikin rumah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih manfaat. Melaksanakan ibadah umrah atau berhaji, berdua dengan istri. Ini juga merupakan keinginan kami selama ini. Selebihnya, duit bisa digunakan untuk pendidikan anak-anak dan seterusnya.

Subhanallah! Ternyata memang hujan betul-betul rahmat dari ALLAH SWT. Pikiran saya mulai tercerahkan asbab hujan. Beban berat yang dipikul selama ini seakan lepas begitu saja. Alhamdulillah, walau ini masih perlu dipikir dan direncanakan dengan matang. Yang terpenting tentu saja di-eksekusi! Semoga!


2 Komentar:

  1. tanpa riba dengan gaji segitu kita tetap bisa membangun rumah bro, insya Allah. tak akan ditinggalkan bagi orang-orang yang mengamalkan sunnah..namun, jika ikhlas hidup menyewa rumah di dunia ini seumur hidup, pun tiada mengapa, karena rumah abadi justru yang harusnya kita miliki sejak sekarang...menjaga iman jauh lebih penting dari pada menggadaikannya hanya untuk rumah yang tidak akan pernah kita miliki selamanya...

    BalasHapus
  2. Aku lahir ,besar,sekarang memiliki anak masih mengontrak

    BalasHapus