Hari masih sangat pagi, waktu menunjukkan pukul 3 dini hari, kopral Kepala (kopka) Budi bergegas dari rumah asrama yang sangat sederhana ke Markas komando (mako) batalyonnya untuk konsinyir persiapan pengamanan demo BBM.
Pasukannya akan bergeser (digerakkan) ke Monas pada pukul 4 pagi. Apel persiapan dilakukan di markas batalyonnya. Kaporlap (perlengkapan perorangan lapangan) para prajurit dicek, senjata dipastikan siap dan amunisi yang berada di dalam magazen hanya dua
macam, yaitu hampa dan karet.
Kali ini tidak seperti biasanya kopka Budi cukup risau dengan tugas yg harus ia jalankan, takut??sama sekali bukan! Kopka Budi sudah merasakan medan tugas yg lebih "ganas", Aceh
contohnya. Dia sudah 2 kali tugas operasi di propinsi serambi mekkah itu. Bahkan dia kehilangan 2 teman satu peletonnya yang "merah" saat bertugas disana.
Ambon sudah ditinggalinya selama hampir satu tahun saat batalyonnya dikirim kesana untuk mengamankan konflik di wilayah itu. Dalam tugas di Ambon ini, dia sudah merasakan ditembak oleh seorang sniper berseragam brimob yang untung saja meleset dengan jarak
hanya sejengkal dari kepalanya. Pokoknya nyawanya sudah dipertaruhkan untuk bangsa ini, walaupun satu bulan gaji yang diberikan negara kepadanya jumlahnya kurang dari harga makan malam seorang anggota DPR di resto mewah.
Kopka Budi risau karena dia sendiri sangat tidak setuju dengan kenaikan BBM ini. Kalau saja bukan prajurit, dia ingin juga bergabung dengan para demonstran yang siang nanti akan ia hadapi.
Tamtama senior ini tidak setuju bukan karena dia simpatisan PDI-P, ia sama sekali tidak tahu tentang politik, dan dia juga bukan pendukung Rieke Diah Pitaloka yang saat ini sangat lantang menentang kenaikan BBM sesuai dengan arahan Ibu ketua besar. Rieke yang dia tahu adalah Oneng yang pernah ia tonton di TV berwarnanya yang warnanya sudah mulai
sewarna.
Ia tidak setuju BBM naik karena nantinya biaya bensin motor kreditannya akan ikut naik, that's all! motor kreditannya ini sehari-hari setia menemani dia sebagai pengojek motor. Pengojek motor?? Ya pengojek motor, prajurit yang menyambi sebagai pengojek motor.
Profesi ini mulai banyak dijalankan oleh puluhan teman-teman prajuritnya untuk menambal kekurangan biaya-biaya dan kebutuhan hidup keluarganya.
Mereka memilih profesi ini karena resikonya lebih kecil dibanding bekerja di dunia malam sebagai backing atau petugas pengamanan, profesi yang sebelumnya digeluti olehnya dan
teman-temannya, selain resiko harus terlibat dalam perkelahian yang fatal, mereka harus menghadapi resiko terkena razia polisi militer yang saat ini sedang digalakkan, sesuai dengan arahan pimpinan tertinggi TNI untuk menegakkan disiplin di kalangan prajurit TNI, kata jenderal bintang empat itu.
Posisi yang lowong ini kemudian diisi kawan-kawan polrinya yg hingga saat ini masih dapat menikmati "jatah" dari bisnis dunia malam.
Lamunan kopka Budi terhenti ketika truk Reo buatan Korea yg konon proses pembeliannya di-mark-up besar2an di masa orde baru mulai bergerak menuju Monas. Dia hanya berdoa agar tidak sampai berhadapan langsung dengan pendemo yang ternyata menyuarakan isi
hatinya juga.
-Di suatu pagi di satu batalyon TNI-
Pasukannya akan bergeser (digerakkan) ke Monas pada pukul 4 pagi. Apel persiapan dilakukan di markas batalyonnya. Kaporlap (perlengkapan perorangan lapangan) para prajurit dicek, senjata dipastikan siap dan amunisi yang berada di dalam magazen hanya dua
macam, yaitu hampa dan karet.
Kali ini tidak seperti biasanya kopka Budi cukup risau dengan tugas yg harus ia jalankan, takut??sama sekali bukan! Kopka Budi sudah merasakan medan tugas yg lebih "ganas", Aceh
contohnya. Dia sudah 2 kali tugas operasi di propinsi serambi mekkah itu. Bahkan dia kehilangan 2 teman satu peletonnya yang "merah" saat bertugas disana.
Ambon sudah ditinggalinya selama hampir satu tahun saat batalyonnya dikirim kesana untuk mengamankan konflik di wilayah itu. Dalam tugas di Ambon ini, dia sudah merasakan ditembak oleh seorang sniper berseragam brimob yang untung saja meleset dengan jarak
hanya sejengkal dari kepalanya. Pokoknya nyawanya sudah dipertaruhkan untuk bangsa ini, walaupun satu bulan gaji yang diberikan negara kepadanya jumlahnya kurang dari harga makan malam seorang anggota DPR di resto mewah.
Kopka Budi risau karena dia sendiri sangat tidak setuju dengan kenaikan BBM ini. Kalau saja bukan prajurit, dia ingin juga bergabung dengan para demonstran yang siang nanti akan ia hadapi.
Tamtama senior ini tidak setuju bukan karena dia simpatisan PDI-P, ia sama sekali tidak tahu tentang politik, dan dia juga bukan pendukung Rieke Diah Pitaloka yang saat ini sangat lantang menentang kenaikan BBM sesuai dengan arahan Ibu ketua besar. Rieke yang dia tahu adalah Oneng yang pernah ia tonton di TV berwarnanya yang warnanya sudah mulai
sewarna.
Ia tidak setuju BBM naik karena nantinya biaya bensin motor kreditannya akan ikut naik, that's all! motor kreditannya ini sehari-hari setia menemani dia sebagai pengojek motor. Pengojek motor?? Ya pengojek motor, prajurit yang menyambi sebagai pengojek motor.
Profesi ini mulai banyak dijalankan oleh puluhan teman-teman prajuritnya untuk menambal kekurangan biaya-biaya dan kebutuhan hidup keluarganya.
Mereka memilih profesi ini karena resikonya lebih kecil dibanding bekerja di dunia malam sebagai backing atau petugas pengamanan, profesi yang sebelumnya digeluti olehnya dan
teman-temannya, selain resiko harus terlibat dalam perkelahian yang fatal, mereka harus menghadapi resiko terkena razia polisi militer yang saat ini sedang digalakkan, sesuai dengan arahan pimpinan tertinggi TNI untuk menegakkan disiplin di kalangan prajurit TNI, kata jenderal bintang empat itu.
Posisi yang lowong ini kemudian diisi kawan-kawan polrinya yg hingga saat ini masih dapat menikmati "jatah" dari bisnis dunia malam.
Lamunan kopka Budi terhenti ketika truk Reo buatan Korea yg konon proses pembeliannya di-mark-up besar2an di masa orde baru mulai bergerak menuju Monas. Dia hanya berdoa agar tidak sampai berhadapan langsung dengan pendemo yang ternyata menyuarakan isi
hatinya juga.
-Di suatu pagi di satu batalyon TNI-
(Dikutip dari milist Jurnalisme)
kenaikan bbm memang sangat tidak menyejahterakan masyarakat, seharusnya pemerintah mengambil solusi atau alternatif lain untuk menutupi "kerugian " yang dialami oleh pemerintah.
BalasHapuskapan ya pemerintah mau mendengarkan rakyat??
BalasHapuslha ane ini buruh gudang jika bbm naik apes dan amsiong gue.motor kredit belum lunaa lagi
BalasHapus