Oleh : Hardi
Musim-musim ini adalah saatnya anak kita masuk pondok. Dalam satu dua bulan pertama adalah saat berat. Untuk santri sekaligus orang tua. Bayangkan, selama ini selalu bersama dari bayi. Selalu ketemu. Selalu melihat baik kepintaran nya kadang kenakalannya, tetiba hilang "mak plas". Tidak kelihatan lagi. Tidak bisa dihubungi. Dan tidak boleh bertemu.
Orang tua saja shock apalagi anak.
Pasti.
Ketika pertama bertemu, baik langsung maupun via phone, jangan pernah tanyakan kepada anak, "apakah kamu kerasan di pondokmu?'
Jawabnya pasti : tidak. Saya tidak kerasan dan pengin pulang!
Bisa jadi ada anak yang memang pengin mondok, ketika ditanyai seperti ini bisa jadi dia akan berkata, "aku pengin pindah ke pondok lain". Dipikirnya pondok lain lebih enak.
Mondok memang berat. Bayangkan. Satu jiwa yang biasanya bebas sekarang tidak bebas lahir batin. Tidak bisa tidur bebas. Makan bebas. Jajan bebas. Tanpa pegang HP dan lihat tv. Tanpa games.
Sangat tidak enak secara fisik. Padahal itu harus.
Terus apa yang ditanyakan selain itu? Adalah targhib atau "pengayem ayem" bagi anak bahwa hidup adalah berjuang. Dan masuk pondok adalah salah satu bentuk perjuangan.
Bagaimana jika anaknya yang curhat tidak karuwan dan pengin berhenti? Maka hiburlah dengan kalimat yang baik. Omongan anak jangan terlalu dipercaya juga jangan diabaikan. Ambil jalur tengah.
Jika terlalu dipercaya bisa jadi anaknya yang "ngadu adu". Berkata tidak aebenarnya. Jika diabaikan, bisa jadi benar apa yang dikatakan. Maka semua harus bijak dalam menyikapi.
Tinggal di pondok merupakan melatih gabungan antara ikhtiar dan tawakkal. Ikhtiar atas segala sesuatu sebagai ciri khas hidup di dunia sekaligus tawakkal kepada Allah atas segala keputusan Nya.
Jangan salah satu!
Jangan sampai terlalu terkesan kepada usaha sehingga melupakan bahwa segala sesuatu itu Allah yang menentukan.
Jangan pula terlalu memasrahkan kepada Allah sehingga sedikit-sedikit "kersane Pengeran" padahal belum berusaha.
Jika ada barang banyak hilang, maka berhati-hatilah. Karena pondok banyak orang bisa jadi bukan hilang tapi ketlisut. Bisa jadi hilang beneran. Maka kita harus selalu perhatian terhadap barang kita. Sehingga jika semua usaha sudah dilakukan maka itulah kehendak Allah.
Secara hawa nafsu memang tinggal di pondok itu "tidak enak" untuk - both- orang tua sekaligus anak.
Mungkin orang tua selama ini nyaman dengan kondisi membiarkan anaknya rebahan sambil pegang gawai. Ngajak makan keluar dan setiap hari ketemu.
Bagi anak juga. Segala kebebasannya terpasung. Segala ekspresinya tertahan. Tapi yakinlah bahwa itu semua demi kebaikan. Demi dunia dan akherat yang lebih baik.
Sebagian kaum muslim ada yang mengatakan jangan kau pondokkan anakmu. Karena itu saatnya kau bersamanya sebelum nanti mereka dewasa dan pergi.
Jangan pedulikan itu!
Sayang dan cinta bukan berarti harus "menggembol" anak setiap hari sampai dewasa.
Pengalaman masa lalu saya juga mondok. Tapi bukan pondok pesantren namun "pondokan". Secara umum sejak masuk SMP siswa-siswa di desa pada sekolah ke kota dan "mondok" di pondokan (kos). Itu harus dilakukan karena memang SMP harus ke kota dan transportasi tidak seperti sekarang. Bahkan saya sejak klas 5 SD sudah harus pindah ke kota meninggalkan orang tua. Pasti bapak ibu saya "cemethil" hatinya melihat anak ragilnya yang lucu, ganteng, bagus, baik hati dan tidak sombong ini harus berpisah. Cieee...
Tapi demikianlah. Yang terjadi.
Tidak seperti era 1980an yang mana melanjutkan sekolah ke pondok adalah second opinion. (Atau third, fourth, dst....). Saat ini memasukkan anak ke pondok adalah sebuah trend tersendiri. Jenis pondok yang mau kita masuki juga beragam. Ada yang salaf atau modern. Ada yang tahfidz atau justru pondok berorientasi masuk PTN. Ada yang kelas punggawa atau kelas sultan. Ada yang sederhana ada yang model hotel berbintang. Semua sama. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk selain dilihat bagaimana pondok yang bisa mendekatkan santri kepada Allah dengan tidak melupakan keduniawiannya.
Jangan pernah katakan, apakah kau krasan di sini, tapi katakanlah bahwa kau di sini demi generasi yang lebih baik.
Generasi yang tidak sekedar "ahli ilmu agama" namun juga faham masalah kebangsaan, kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga mampu memimpin negara kelak mandiri tidak mudah ditekan bangsa lain. Cerdas dalam bertindak.
Menjadi generasi yang kuat dan kaya secara finansial dan mampu memberi bantuan kepada saudara yang kekurangan bukan sekedar pepesan kosong.
Tanah Perjuangan, 3 Agustus 2021
https://www.facebook.com/100066486505919/posts/163373139222235/
0 Komentar:
Posting Komentar