Suatu ketika saya berkunjung ke jamaah itikaf yang sedang menjalani program itikaf di masjid (bukan masjid Jami) di wilayah Kabupaten HSS. Ada pengalaman menarik yang disampaikan teman saya yang juga dari Kandangan, yang aktif dalam jamaah itikaf atau ahbab. Teman saya baru-baru ini silaturahmi pada seorang penghulu desa. Tentu saja terjadi dialog atau pun pembicaraan seputar program itikaf.

Selain teman saya, ada dua orang juga yang bersilaturahmi pada pak penghulu. Teman saya tidak menyebutkan jenis kelaminnya, apakah keduanya laki-laki, atau perempuan atau kedua-duanya. Juga tidak disebutkan apakah duluan teman saya atau kedua orang itu yang sowan ke kediaman pak penghulu.

Di salah satu bagian pembicaraan dengan teman saya, pak penghulu sedikit melontarkan penilaian bahwa orang-orang yang ikut itikaf banyak yang cerai atau pisah dengan istrinya. Menanggapi hal itu, teman saya menyampaikan pada pak penghulu, coba saja didata kasus perceraian yang terjadi, berapa banyak yang dilakukan oleh orang yang aktif di itikaf dakwah tabligh dan berapa banyak yang dilakukan oleh orang yang tidak ikut itikaf. Insya Allah datanya menunjukkan lebih banyak dilakukan oleh yang tidak ikut itikaf.

Di salah satu bagian pembicaraan selanjutnya, pak penghulu menanyakan maksud kedatangan dari dua orang selain teman saya. Ternyata maksud kedatangan mereka ingin minta pak penghulu untuk menikahkan seseorang. Saya tidak jelas apakah salah satu dari mereka atau orang yang tidak ikut bersama mereka. katanya lagi, orang yang mau menikah itu balu. 

Balu adalah kata dalam bahasa banjar yang menunjukkan makna bahwa orang itu pernah menikah namun sekarang sudah tidak punya pasangan sah lagi. Balu bisa terjadi karena cerai atau salah satu meninggal dunia. Balu dapat disebutkan baik untuk laki-laki atau perempuan. Kalau dalam bahasa Indonesia, untuk laki-laki disebut duda, sedangkan untuk wanita disebut janda. Tetapi dalam bahasa banjar keduanya sama disebut balu.

Mendengar hal itu, yaitu yang minta dinikahkan sudah balu, teman saya sempat bertanya, mengapa jadi balu, apakah karena pisah (cerai). Jawabannya "Inggih Guru ai". atau dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya: "Iya ustadz.."

"Nah kan, pak penghulu, ini contoh bukan dari orang itikaf yang cerai", kira-kira begitu bilang teman saya dalam bahasa Indonesianya pada pak penghulu.

Pak Penghulu pun bilang: "iya ya... ". terdiam tidak bisa menyanggah lagi.

Kira-kira begitu inti dari pengalaman teman saya yang diceritakannya dalam bahasa Banjar, dan di sini saya tuliskan dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi kata-kata tidak sama persis dengan dialog sebenarnya, namun substansi insya Allah sama. semoga Allah mengampuni saya bila ada salah tulis dari yang sebenarnya.


masjid baitur rahim sirih

Setelah teman saya cerita seperti itu, ada teman saya lain yang saya ketahui juga balu, dan aktif di program itikaf. Lalu dengan iseng saya menunjuk nya, seraya mengucapkan "ini seorang jua (yang balu). teman saya itu pun menjawab bahwa ia balu sebelum ikut dakwah itikaf, sebelum kenal dakwah.


0 Komentar:

Posting Komentar