Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang sukses. Abdurrahman ibnu Auf, salah satu sahabat Nabi juga pedagang sukses. Islam sampai di Nusantara dibawa oleh para pedagang. Kebangkitan bangsa ini juga dimotori para pedagang. Sayangnya, kini sebagian besar muslim negeri ini seperti terasing dari 'sembilan pintu dari sepuluh pintu rezeki' ini, yaitu berdagang. Lihatlah di kota besar, Jakarta misalnya, coba perhatikan siapa yang berdagang di pusat-pusat perbelanjaan seperti Glodok, Mangga Dua, Tanah Abang dan yang lainnya. Kita akan menemui pedagangnya kebanyakan adalah orang-orang [keturunan] China. Kebanyakan orang Indonesia pribumi hanya sebatas karyawan atau pelayan saja, pemilik toko didominasi orang-orang China. Sebagai muslim yang pendahulu teladan agama kita adalah pedagang, tentu kita prihatin atas hal ini.

Memang, dalam berdagang, kita sebagai umat Islam mempunyai tuntunan dan aturan yang jelas dan harus ditaati sebagai konsekuensi keIslaman kita. Di antaranya adalah tidak boleh menipu dalam berdagang, tidak boleh mengurangi takaran atau timbangan, tidak boleh dengan sistem riba dan lain sebagainya. Tentu ini berbeda dengan cara berdagang bangsa china, yang menghalalkan berbagai cara yang dilarang Islam (kata sebagian orang yang saya temui).

Hari ini ada pengalaman saya terkait dunia dagang yang menggelitik saya untuk menuliskannya di sini sebagai pengalaman dan bahan koreksi. 

Di kota besar sudah banyak berdiri swalayan-swalayan atau supermarket, disamping mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Indomaret, Alfamaret atau Alfamidi adalah beberapa di antara jenis swalayan tersebut. Keuntungan berbelanja di tempat ini adalah kita bisa memilih langsung barang atau produk yang kita beli sesuai harga yang tertera, tanpa perlu tawar menawar karena di sini memang tidak ada kata tawar menawar seperti di pasar tradisional. Di samping itu, pembeli juga bisa menggunakan credit card atau debit card, sehingga tidak perlu membawa uang tunai. Mudah kan?

Namun yang tidak meng-enak-kan adalah, sering terjadi harga yang tertera berbeda dengan harga yang harus dibayar di kasir. Sebagai contoh nyata adalah yang saya alami hari ini ketika belanja di salah satu toko Indomaret. (Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelek-jelekan, tapi lebih kepada kritik dan saran untuk perbaikan berdasarkan pengalaman nyata).

Di etalasi terpampang harga satu malkist roma seharga Rp. 4700,- seperti gambar di bawah.

private doc http://noor-ridhwan.blogspot.com

Namun ketika dibayar di kasir, harga yang harus dibayar malah menjadi Rp. 5300,-. seperti terlihat pada gambar struk pembelian di bawah ini.

private doc http://noor-ridhwan.blogspot.com

Potongan harga yang tertera di struk itu adalah untuk pembelian susu Dancow 800 gram yang semula Rp. 52.900,- dengan potongan harga Rp. 5000, sehingga menjadi Rp. 47.900 (sesuai masa promosi Dancow yang berlaku saat ini).

Perbedaan harga Rp. 4700,- menjadi Rp. 5300,- memang relatif kecil, tapi jika jumlah kejadian kali sekian puluh, atau ratus atau ribuan, hasilnya tentu besar bukan?? Pengalaman saya, bukan hanya sekali ini kejadian yang sama saya alami. Entah apakah kelalaian ada di pihak manajemen tingkat atas atau pada pihak karyawan yang tidak meng-update label harga di etalase, Atau suatu kesengajaan untuk meraih keuntungan? Entahlah. Yang jelas ini sangat menyebalkan, dan perlu untuk segera dibenahi oleh pihak Manajemen Indomaret, khususnya toko tempat kejadian. Semoga !




2 Komentar:

  1. Bener Bos, kalau berdagang itu harus jujur, kalau udah jujur konsumen percaya, so ditawarin apa ajah pasti konsumen beli. Krn kita udah investasi kejujuran ke konsumen. Bagus Bos artikelnya.

    BalasHapus