Koran terbesar di Kalimantan Selatan, Banjarmasin Post hari ini, Senin 29 Oktober 2012, mengangkat tajuk dengan judul "Listrik Mati di Lumbung Energi".
Sesuatu yang ironis sekali.
Dalam tajuk itu ditulis bagaimana KELUHAN masyarakat terhadap layanan kelistrikan di wilayah ini tak ada habisnya. Hari-hari sepanjang pekan ditandai kemarahan dan caci-maki warga dalam berbagai ekspresi. Jika pemberitaan di media massa masih dipagari etika dan tata krama, maka hujatan yang disalurkan lewat media sosial lebih telanjang, keras, dan tanpa basa-basi.
Saya yang tinggal di Jakarta (untuk sementara waktu) dalam minggu-minggu ini juga telah 'mendengar' bagaimana jeritan teman-teman di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah tentang listrik yang sangat sering padam. Mereka menjerit di jejaring sosial facebook. Entah di jejaring sosial lainnya, barangkali sama. Cuma saya seringnya buka facebook ketimbang twitter, skype atau yang lain.
Di Facebook, teman saya memang didominasi oleh orang-orang Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sebabnya saya memang orang Kalimantan Selatan dan juga pernah tinggal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah lebih lima tahun saat masih kuliah. Hanya beberapa teman di facebook yang berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Dan sepertinya untuk mereka ini memang tidak masalah dengan listrik, sehingga saya tidak pernah terbaca status mati listrik di wall mereka.
Inilah ironi paling menyedihkan. Kalimantan Selatan yang kaya sumber daya alam, tak kunjung mampu memberi kesejahtetraan secara merata kepada warganya, bahkan sekadar pasokan energi. Padahal dari pulau ini sumber-sumber daya dikeruk untuk menyalakan ekonomi nasional lewat industri-industri besar di Pulau Jawa. Salah satu sumberdaya dari Kalimantan Selatan adalah batubara. Entah berapa ton saban harinya batubara dikeruk dan diangkut ke pulau Jawa atau bahkan diekspor. Paling-paling hanya segelintir orang kaya banua yang diuntungkan akibat tambang batubara ini. Namun mayoritas tidak merasakan manfaatnya. Bukti bahwa kebijakan pembangungan masih kurang berpihak pada rakyat di luar pulau Jawa, khususnya Kalimantan.
"Tanah Surga Katanya.." adalah gambaran bagaimana sengsaranya rakyat di pedalaman Kalimantan. Film ini masih sangat fresh, yakni dirilis 15 Agustus 2012, sehingga mungkin masih belum ditonton oleh banyak banyak orang, terutama orang Kalimantan. Saya merasa beruntung bisa menyaksikan film ini.
Film ini berkisah tentang kehidupan seorang anak SD, Salman, yang hidup bersama adik dan ayahnya. Ibunya telah meninggal dunia. Karena susahnya kehidupan di pedalaman Kalimantan, sang ayah memutuskan membawa adik Salman untuk menjadi warganegara Malaysia. Tinggallah Salman menemani sang kakek, sang pejuang veteran, di dusun yang tidak berlistrik. Sinyal handphone kadang ada kadang lenyap, namaya pedalaman.
Film ini juga berkisah tentang susahnya anak negeri mengecap pendidikan di sekolah dasar. Selama satu tahun sekolah Salman diliburkan, sehingga ketika masuk sekolah, murid-murid SD itu sudah tidak ada yang hafal Lagu Indonesia Raya. Bidang kesehatan juga disoroti lewat film ini. Sangat layak menjadi tontonan untuk menggugah hati pikiran kita, terutama untuk para pembuat Kebijakan di Negeri Tanah Surga ini !.
Film ini juga berkisah tentang susahnya anak negeri mengecap pendidikan di sekolah dasar. Selama satu tahun sekolah Salman diliburkan, sehingga ketika masuk sekolah, murid-murid SD itu sudah tidak ada yang hafal Lagu Indonesia Raya. Bidang kesehatan juga disoroti lewat film ini. Sangat layak menjadi tontonan untuk menggugah hati pikiran kita, terutama untuk para pembuat Kebijakan di Negeri Tanah Surga ini !.
0 Komentar:
Posting Komentar