"Berani jujur hebat. Jujur langkah awal berantas korupsi." Kurang lebih kalimat tersebut adalah slogan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa waktu yang saya baca di spanduk yang tertempel di salah satu halte bus Transjakarta. Dalam pikiran kita puna barangkali terlintas, andaikan semua warga Indonesia jujur, insya Allah tidak akan ada lagi yang namanya korupsi.

sms kunci UN


Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan korupsi waktu diartikan sebagai penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi.

Umumnya yang kita lihat dan dengar, memang korupsi terkait dengan penyelewengan uang negara. Kita ketahui, sampai saat ini sudah banyak para pejabat di negeri kita yang ditangkap gara-gara korupsi. Ada yang dulunya sebagai menteri, gubernur, bupati, kepala dinas, kepala sekolah dan sebagainya. Sekarang menginap di hotel prodeo. Ada yang sudah divonis penjara sekian tahun, sebagian lagi masih proses penyidikan. Bahkan ironisnya ada yang ditetapkan bebas.

Kalau dipikir-pikir, jadi pejabat itu sudah dapat gaji besar, kok masih mau-maunya korupsi ya? Heran... Apa penyebabnya? Mungkin secara umum jawabannya adalah karena para pejabat itu semua "Cinta Dunia". Dalam satu hadits, kalau tidak salah disebutkan bahwa Cinta dunia adalah sumber dari segala dosa atau kejahatan.

Dalam salah satu kuliah menjelang tarawih baru-baru ini, saya mendengar analogi yang bunyinya kurang lebih begini : "Seseorang tidak mungkin tersandung oleh batu besar, tapi yang mungkin adalah dia tersandung karena batu kecil." Batu besar sudah pasti dapat dilihat keberadaannya dan kita pikir memang tidak memungkinkan sebagai batu sandungan. Sedangkan batu kecil, seringkali ini yang tidak kita perhatikan. Kita lebih memperhatikan hal-hal yang kita anggap besar, seperti rumah, gedung, manusia, taman, dan sebagainya, sehingga tidak kita sadari kalau kaki sudah terantuk batu kecil. Setelah jatuh baru kita sadar. Kita tidak waspada dan tidak perhatikan hal kecil, tepatnya batu kecil.

Analogi yang disampaikan sang penceramah tampak benar adanya jika kita perhatikan kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam hal yang namanya korupsi. Korupsi adalah salah satu bentuk ketidakjujuran atau perilaku tidak amanah. Uang yang mestinya untuk rakyat atau pembangunan (juga untuk kepentingan rakyat), karena perilaku pejabat atau pihak yang menangani uang itu tidak jujur, akan masuk kantong pribadi pejabat yang bersangkutan. Negara telah dikhianati, rakyat dibohongi.

Dan jika kita tarik ke belakang, akan kita temui bentuk ketidakjujuran sebelumnya yang mendahului korupsi pejabat tersebut. Ketidakjujuran yang dianggap kecil, yang tiba-tiba saja menjadi wabah besar bagi kehidupan bernegara dan berbangsa kita.

Pertama, ketidakjujuran berawal dari didikan orangtua pada anak. Dalam perkembangan kehidupan anak dari balita hingga menjelang usia sekolah, seringkali  orangtua tidak jujur pada anak. Pada usia tersebut umumnya anak punya banyak keinginan, yang kadang tidak bisa dikabulkan oleh orangtua. Orangtua yang tidak mau repot biasanya akan segera ambil jalan pintas dengan berbohong. Misalnya si anak ingin main ke belakang rumah, dibilang ada hantu. Ketika si anak ingin beli mainan atau ice cream, orangtua bilang uangnya tidak cukup atau bilang rasanya tidak enak. Dan aneka bentuk ketidakjujuran lainnya.

Pembelajaran ketidakjujuran selanjutnya adalah saat anak sudah berada di sekolah, dasar hingga menengah. Hal yang umum adalah perilaku mencontek saat ulangan atau ujian. Ulangan atau ujian sejatinya adalah untuk mengukur kemampuan individu. Dalam ujian manapun kegagalan adalah sesuatu yang wajar. Namun sekarang telah bergeser menjadi sesuatu yang memalukan, sehingga aksi contek terjadi. Ironisnya pada saat Ujian Nasional misalnya, di sebagian sekolah aksi contek dan ketidakjujuran malah difasilitasi oleh guru.

Menjelang dan saat kuliah, ketidakjujuran untuk mengejar kelulusan atau nilai bagus merupakan lanjutan dari tahap sekolah. Ketidakjujuran lebih bervariasi dan canggih. Baru-baru ini ditemukan sejumlah joki tes masuk perguruan tinggi dengan peralatan komunikasi hasil modifikasi. Pada saat penelitian skripsi atau tesis, mahasiswa kadang harus memanipulasi data, bahkan ada yang jadi plagiator.

Memasuki dunia kerja, praktik menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan berlanjut. Mulai dari joki tes cpns, penyuapan, ijazah palsu, tandatangan absen tanpa kerja, hingga berani korupsi.

Banyak rekam jejak ketidakjujuran yang seakan sudah menjadi budaya manusia Indonesia. Tidak mungkin untuk menuliskannya satu persatu di sini. Yang pasti kejujuran berpulang kembali kepada diri masing-masing. Dan semoga Ramadhan kali ini mampu menjadikan diri kita sebagai orang yang jujur sebagai indikator takwa.

Diluar itu, kita berharap terjadi perubahan dari para orangtua di rumah, para guru dengan sistem pendidikan di sekolah sampai Perguruan Tinggi, hingga reformasi birokrasi yang bersih dan melayani

0 Komentar:

Posting Komentar