Tes Covid yang saya maksud di tulisan ini tidak ada hubungannya dengan swab antigen atau PCR. Tes Covid ini terkait dengan seberapa melek wawasan seseorang tentang hakikat covid dan sejauhmana seseorang paham apa yang harus dilakukannya.
Contoh, ketika diwajibkan bermasker, apakah seseorang tahu kenapa jadi wajib bermasker, dan sebagaimana paham tentang teknik mengenakannya.
Ini penting sekali kalau menurut saya. Sebab banyak orang yang bermasker semata-mata biar tidak ditilang saja. Bermaskernya karena ada peraturan, bukan karena dia paham latar belakang kenapa harus bermasker.
Kalau di pengajian, kita bilang orang macam ini orang yang taklid saja, tidak tahu dalilnya ngambil dimana.
Maka kita sering lihat contoh buruk orang bermasker, yaitu maskernya tidak standar, cuma masker kain biasa. Atau masker kesehatan, tapi KW alias tidak memenuhi standar kesehatan.
Atau maskernya dipakai di dagu, sementara mulut dan hidung kelilingan kemana-mana. Kayak gini mirip orang shalat pakai sarung yang hanya diselempangkan di bahu. Auratnya kelilingan kemana-mana ikut pameran.
oOo
Tes covid itu menurut saya harus mencakup pemahaman sejarah panjang pandemi juga. Bagaimana pandemi telah jadi mesin pembunuh nyawa manusia dalam jumlah amat besar.
Bayangkan nyawa manusia yang jadi korban di perang dunia pertama (PD1) pun kalah jauh dari korban Flu Spanyol. Padahal keduanya terjadi nyaris berbarengan.
Selama seseorang belum paham apa yang dimaksud pandemi, pasti dia hanya akan komplain pemerintah, bahwa pemerintah itu jahat karena berkolusi dengan pabrik vaksin.
Mereka juga akan main tuduh dokter dan rumah sakit ambil keuntungan, sampai tidak percaya ambulan bawa orang sakit dan jenazah.
Maka perlu juga masyarakat itu diberi penataran model zaman dulu ada penataran P4. Dan saya setuju kalau tokoh-tokoh yang menyebar paham sesat terkait Covid itu perlu diwaspadai.
Sebab dari mereka itulah terjadinya pembangkangan besar-besaran selama ini. Pandemi di kita yang sudah masuk tahun kedua masih belum ada tanda-tanda mau berakhir, menurut saya bukan dengan bikin lalu lintas jadi ganjil dan genap. Sebab tidak ada hubungannya.
Yang perlu dilakukan polisi adalah menangkap para penyesat umat lewat tayangan medsos tak bertanggung-jawab. Mereka yang menyerukan untuk tidak percaya vaksin, tidak mau bermasker, ngotot mau berkerumun dan banyak doktrin-doktrin sesat lainnya.
Memang agak sulit kalau ditangkap, karena belum ada pasal yang pas untuk itu. Namun seandainya bisa kerja sama dengan perusahaan medsos untuk bisa membolkir akun-akun medsos yang menyesatkan terhadap covid, menurut saya itu jauh lebih urgen.
Karena percuma kita capek-capek sekolah di rumah, kerja dari rumah, sudah dua tahun ini, kalau di tengah masyarakt muncuk gerakan yang menafikan semua yang sudah kita usahakan.
oOo
Oleh karena itu seharusnya ada tes skrining untuk mengetahui sebagai paham seseorang itu terkait hakikat covid dan pandemi. Biar pemikiran yang keliru itu jangan sampai menulari cara berpikirnya orang banyak.
Menurut saya, penularan pemikiran sesat terkait covid ini jauh lebih berbahaya ketimbang penularan virusnya itu sendiri.
Maka lakukan tes pemahaman Covid, di samping tes antigen atau PCR. Hasil tesnya bisa kita ukur seberapa berbahaya cara berpikirnya seseorang.
Istilah yang saya usulkan bukan positif terpapar atau negatif terpapar. Tapi pakai istilah yang lebih nyambung : berwawasan atau kurang berwawasan. Hanya mereka yang punya nilai wawasan di atas 90% saja yang dianggap lulus.
Kalau nilainya kurang dari itu, orang ini masih bermasalah. Tidak boleh masuk kantor, apalagi jadi guru, dosen atau pun jadi ustadz.
https://www.facebook.com/100000219936471/posts/4996852023665413/
0 Komentar:
Posting Komentar