Reformasi administrasi sering kali membawa pengertian yang berbeda bagi setiap orang atau masyarakat yang berlainan. Montgomery (1967), misalnya, mendefinisikan reformasi administrasi sebagai “suatu proses politik yang didesain untuk menyesuaikan hubungan antara birokrasi dan elemen-elemen lain dalam masyarakat, atau di dalam birokrasi itu sendiri, dengan kenyataan politik.”  Dan dengan cara yang sama, orang juga dapat menerangkan reformasi administrasi sebagai suatu proses ekonomi (redistribusi sumber daya dan perubahan produk akhir) atau sebagai proses psikologi (perubahan pada pola perilaku, kepercayaan, sikap dan tindakan individual). Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa reformasi administrasi serupa dengan proses rasionalisasi pada masa revolusi birokrasi dalam monarki absolut Eropa selama tiga puluh tahun peperangan. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Caiden, apapun definisi yang dipakai, reformasi administrasi pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari reformasi atau perubahan kemasyarakatan. 
 
 
Kebutuhan akan reformasi administrasi muncul setelah proses perubahan administrasi secara alamiah gagal. Karena itu, muncul dorongan untuk melakukan perubahan secara sengaja dengan melahirkan bentuk administrasi baru yang berbeda dengan yang ada sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa reformasi administrasi adalah wujud dari aksi kekuatan politik, yang melibatkan rasionalisasi ideologi, upaya pengendalian wilayah, pelayanan, orang-orang, para pendukung, lembaga politik, kendali kekuatan, strategi kampanye dan berbagai taktik untuk merintanginya, serta kompromi dan konsesi.
 
 
Desakan untuk memperbaiki sistem administrasi dan meremajakan kembali organisasi publik di berbagai belahan dunia terutama merupakan akibat drastisnya penurunan kemampuan keuangan publik yang mengglobal, sementara kebutuhan pembiayaan semakin meningkat. Pemerintah terpaksa berpikir lebih jauh untuk mengurangi pengeluaran, staf, investasi dan pelayanan, serta menuntut produktivitas yang lebih tinggi dan kinerja yang lebih baik dari sektor publik mereka yang lamban. Dalam upaya membawa negara mereka ke posisi yang lebih baik dalam tataran ekonomi dunia yang sedang berkembang, pemerintah dipaksa untuk meredefinisi peran dan mengonseptualisasikan kembali strategi mereka. Namun, hampir semua upaya itu gagal di “tangan mati” birokrasi : kinerja yang buruk, berbagai rintangan harian yang menjemukan, prosedur dan aturan yang berbelit-belit, pejabat publik yang tidak ramah, pelayanan yang buruk, serta berbagai praktik korupsi.

Di sisi lain, pemerintah sendiri telah menjadi terlalu gemuk, menjadi ekonomi biaya tinggi pada dirinya sendiri sebagai penanggung dan penjamin ekonomi masyarakat, manajer sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta sponsor potensi intelektual dan kultural. Semua aktivitas tersebut sangat diminati, tetapi berada di luar jangkauan kapasitas administrasi, politik dan teknik mereka untuk merealisasikannya.
 
 
Menurut Caiden, program reformasi administrasi yang harus diprioritaskan oleh pemerintah di negara-negara berkembang adalah: 1) privatisasi dan kuproduksi, 2) debirokrasi, 3) reorganisasi, 4) manajemen publik yang lebih efektif, 5) nilai uang, dan 6) batasan reformasi.
 
 
1.    Privatisasi dan Koproduksi

Akibat kekurangan dana yang melilit, pemerintah memutuskan untuk melaksanakan denasionalisasi terhadap beberapa industri yang dikelola oleh negara dan siap dijual kepada swasta. Hal ini memberikan keuntungan dalam bentuk injeksi dana segar sehingga pemerintah dapat mengatasi bebannya dalam mengelola barang dan jasa publik. Privatisasi yang mengalihkan kepemilikan industri dari pemerintah ke pihak swasta ini secara otomatis dapat mengurangi ukuran pemerintah, memperlonggar kontrol negara, dan memperingan beban anggaran publik. Kondisi ini selanjutnya dapat membebaskan pemerintah dalam melaksanakan detail manajemen sekaligus mengurangi beban subsidi. Privatisasi dapat menaikkan prospek perusahaan negara yang tidak menguntungkan, meningkatkan kinerjanya, dan mengurangi pertentangan dalam hubungan industrial.
 
 
Di sisi lain, privatisasi ternyata juga memunculkan fenomena penjualan aset negara yang dinilai rendah atau undervalue  kepada perusahaan swasta yang sebenarnya belum terbukti kapabilitasnya. Di negara-negara berkembang, privatisasi sering dihubungkan dengan sejumlah skandal penjualan perusahaan negara dan kegagalan pengelolaan kendati telah berpindah ke sektor swasta.
 
 
Selain privatisasi atau pengelolaan langsung terhadap barang dan layanan publik pemerintah juga dapat melaksanakan sistem kontrak dengan badan publik lain atau dengan sektor swasta. Langkah ini ditempuh agar pemerintah dapat berkonsentrasi pada pelayanan mereka sehingga pembiayaannya menjadi lebih efisien dari sudut para pengguna layanan. 
Ketika sumber daya publik semakin berkurang, pemerintah dipaksa mencari cara untuk memangkas biaya, yaitu mengandalkan partisipasi dan peran masyarakat untuk melaksanakan tugas pelayanan publik. Masyarakat didorong untuk tidak terus menerus bergantung kepada pemerintah. Dalam hal ini, termasuk penyerahan sejumlah aktivitas pelayanan publik kepada organisasi kemasyarakatan dan kerjasama dengan berbagai organisasi swasta. Sayangnya, praktik kuproduksi pelayanan publik tersebut sering kali hanya berlaku untuk kegiatan yang relatif kecil dan terbatass pada lingkungan lokal, serta cenderung pada pendanaan swasta, pada minat masyarakat lokal dan organisasi masyarakat tertentu.

2.    Debirokrasi

Debirokrasi merupakan upaya untuk menyederhanakan dan merampingkan birokrasi publik. Debirokrasi tidak ditujukan untuk menghilangkan birokrasi sama sekali, melainkan untuk menghilangkan disfungsi birokrasi dan biropatologi (bureaupathologies), serta mengurangi praktik percaloan antara publik dan birokrat.
 
 
Debirokrasi menjangkau semua proses reformasi administrasi, diantaranya yaitu : merampingkan proses pembuatan keputusan publik dan keputusan pemerintah, merampingkan mesin pemerintahan, dekonsentrasi kekuasaan dan otoritas, meningkatkan produktivitas sektor publik, menetapkan ukuran kinerja dan mendorong peningkatan kinerja. Mencegah terjadinya bureaupathologis, seperti korupsi, penghamburan sumber daya dan kecurangan (penyalahgunaan wewenang), adopsi teknologi administrasi dan informasi terkini, dan mempercepat proses kerja.
 
3.    Reorganisasi
 
Reorganisasi mesin pemerintahan seharusnya menjadi kebutuhan primer dalam proses reformasi administrasi. Salah satu fokus reorganisasi adalah melaksanakan konsolidasi di antara unit-unit kerja yang lebih kecil dan mengintegrasikannya dalam aktivitas tertentu sedemikian rupa sehingga tidak menciptakan organisasi masif yang interpersonal, yang kehilangan sentuhan pada publik yang mereka layani. Integrasi ini juga dapat mengakhiri kompleksitas kegiatan pemerintahan kontemporer.
 
 
Sejumlah negara memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke tempat lain di luar kota besar yang telah menjadi basis sebelumnya. Kebijakan ini sejalan dengan program relokasi unit administrasi keluar dari kota besar, program dekonsentrasi pegawai publik, dan program penyebaran investasi secara geografis. 
 
4.    Manajemen publik yang lebih efektif
 
Bersandar pada filosofi baru yang menekankan kontrol misi, dibutuhkan kualitas dan keterampilan manajerial baru yang memberikan kebebasan kepada manajer publik untuk mengelola. Juga dibutuhkan kepemimpinan baru yang lebih menekankan kebijakan pengelolaan dengan pendekatan manajemen inovasi, dimana evaluasi dan laporan kinerja manajerial lebih diutamakan daripada kontrol operasional secara mendetail, serta lebih menekankan inovasi riset dan redesain terhadap sistem yang telah usang untuk mencapai sistem manajerial yang jauh lebih baik.
 
5.    Nilai Uang
 
Tema sentral kampanye reformasi administrasi pada dasarnya adalah pemerintah yang tidak menghargai nilai uang. Privatisasi memperkenalkan kembali prinsip-prinsip pasar dan efisiensi ekonomi. Debirokratisasi menghilangkan hal-hal yang tidak perlu, parasit dan kegiatan pemerintahan yang tidak produktif. Reorganisasi akan meningkatkan kinerja pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Manajemen publik yang lebih efektif akan meningkatkan produktivitas dan mengurangi hal-hal yang tidak kompeten. Namun semua kebijakan di atas tidak menyentuh soal pengeluaran dana yang berlebihan dan masalah pemborosan, khususnya berkaitan dengan kekosongan insentif dalam anggaran publik untuk meningkatkan tabungan dana publik.
 
 
Pentingnya reformasi anggaran lebih-kurang dapat mempercepat pengadopsian reformasi administrasi lainnya. Jika memungkinkan, organisasi pemerintah dapat membuat individu terlibat secara finansial dan dengan sadar melakukan pembiayaan sendiri, misalnya melalui denda (fee) atau pengenaan biaya lain pada pelayanan yang diberikan. Dengan cara ini, organisasi pemerintah menjadi lebih hati-hati dengan pengeluaran mereka dan publik juga lebih waspada terhadap biaya pelayanan publik.
 
Target reformasi lainnya adalah mengatasi pengeluaran yang berlebihan dan mencegah pendanaan publik dari praktik penyalahgunaan wewenang, pemborosan, dam korupsi. Penghematan dana dapat dicapai jika lubang-lubang peluang penyalahgunaan kekuasaan ditutup. Terakhir, yang tak kalah penting adalah proses pre-auditing. Jauh sebelum uang dialokasikan, klaim dan permintaan juga dapat diaudit sampai sejauh mana nilainya dapat bermanfaat untuk publik, tidak sekadar soal legalitas dan kepantasannya.
6.    Batasan Reformasi
 
Reformasi yang realistis juga membutuhkan pendekatan eksperimental yang pragmatis, mungkin melibatkan satu kegiatan publik yang spesifik, atau satu set organisasi publik, atau satu kelas pekerja publik. Sementara itu, di luar faktor para ahli, permintaan publik, hukum dan peraturan baru, organisasi baru, orang-orang baru dan mekanisme koordinasi yang baru dapat memberikan sesuatu yang berarti.
 
 
Kesuksesan reformasi tergantung pada kemampuan operasi organisasi pemerintahan setiap hari. Itu berarti tergantung pada ratusan atau ribuan staf tetap yang setiap hari harus menghadapi urusan publik untuk meningkatkan pelayanan menjadi lebih baik. Dengan sistem yang tepat, reformasi dapat menjamin dan mendukung sistem, menghasilkan sumber daya yang cukup, dan waktu yang tepat. Namun strategi ini bisa berhasil, hanya jika sistem yang ada telah membuktikan kinerja yang baik dan mereka yang menjalankannya memiliki sensitivitas publik, cukup profesional dan mampu mengidentifikasi bagian-bagian mana sajakah yang harus direformasi. Sayangnya, di banyak negara, sistem itu sendiri yang justru ,menjadi persoalan dan tidak ada upaya yang berarti untuk memperbaiki kesalahan sistem itu.

 
---  0 0 0  ---
 
Adminsitrative Reform, Gerald E. Caiden, dalam Handbook of Comparative and Development Public Administration, edited by Ali Farazmand, 2001.

0 Komentar:

Posting Komentar