Hari-hari belakangan ini setiap bangun pagi kita selalu dibikin terkaget-kaget baca berita.
Ada saja kabar duka yang menyambut datangnya sang mentari pagi. Sedangkan kabar bahagia nampaknya agak jarang kita dengar.
Bahkan setiap pengeras suara masjid berbunyi di luar jam adzan, nafas kita seakan berhenti sejenak. Pasti ada lagi berita duka.
Apalagi raungan suara sirine ambulan yang terus silih berganti. Tidak habis-habisnya. Bikin suasana semakin mencekam.
oOo
Suasana mencekam dimana raungan sirine ambulan tidak berhenti bersahut-sahutan, pernah saya alami, yaitu ketika terjadi gempa di Jogja tahun 2006, tepatnya 27 Mei pagi hari.
Suasana mencekam malam itu di Jogja bagaikan kota mati. Tidak ada listrik, suasana lalu lintas sepi, namun banyak ambulan melintas dengan cepat dengan raungan raungan sirinenya.
Waktu itu saya sekelurga kebetulan lagi liburan ke Jogja. Di Pokoh meski agak jauh dari Bantul, gempa terasa keras juga guncangannya.
Gempa kami rasakan saat sarapan pagi dengan keluarga, sekitar jam 06.00 lalu tidak ada lagi, suasan nampak normal. Tidak ada bangunan roboh di desa kami.
Memang listrik sempat mati, sehingga kita agak terputus dengan dunia luar. Tapi jam 10.00 listrik menyala dan kaget nonton berita di TV. Ternyata terjadi gempa yang berpusat di Bantul dengan jumlah korban yang terus bertambah.
Angkanya waktu yang dilaporkan baru belasan saja, belum sampai ribuan.
Saya saat itu langsung memutuskan untuk hengkang dari Jogja. Segera turun kota untuk cari tiket pesawat atau tiket kereta api.
Ternyata bandara dan stasiun tutup. Tidak ada penerbangan dari dan ke bandara Adisucipto, sebab landasan retak dan bangunan ruang tunggu hancur menimpa banyak korban.
Jalur kereta api pun sama saja, tidak ada pemberangkatan kereta hari ini. Semua off.
Mulai saya agak gemetaran, karena baru sadar saat itu banyak bangunan yang roboh. Tadinya nggak ngeh, karena konsen nyetir ke bandara atau ke tugu.
Sempat turun dan ngobrol dengan orang-orang yang berkerumun di pinggir jalan, malah dapat hoaks tentang akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat menyebar.
Bahkan entah dari mana sumbernya, sebentar lagi akan ada tsunami yang akan melenyapkan kota Jogja tercinta.
Waduh . . .
Panik dan akhirnya saya berpikir cepat. Saya pulang ke Sleman dan di jalan raya Magelang saya hentikan mobil elf trayek Jojga Tempel.
Saya rayu sopirnya untuk mengantarkan saya sekeluarga pulang balik ke Jakarta. Jenengan kerso pinten nggih?
Dasar orang Jojga, malah dibalik, lha njenenang gadah pinten?
Tawar menawar pun terjadi dan jam 24.00 malam itu kami sekeluarga meninggalkan Jogja naik elf trayek.
Di jalan raya Magelang, nampak pemandangan unik, ribuan mobil berplat AB berlari meninggalkan Jogja dengan kecepatan di luar batas.
Suasana seperti dikejar-kejar Tsunami dengan jarak 10 meter di belakang. Saya lihat ada mobil nabrak separator di tengah jalan karena tidak ada lampu penerangan jalan.
Bagian depan mesinnya ringsek, radiatornya memuncratkan air panas dan penumpangnya berteriak-teriak ketakutan. Tapi tak satu pun mobil berhenti memberi pertolongan.
Semua mikirin diri sendiri, termasuk sopir elf saya. Dia terus tancap gas menuju arah Muntilan Magelang.
Suasana horor menyebar. Mobil elf yang saya Carter ini sama sekali tidak enak dinaiki. Karena mesinnya bising dan suspensinya mati total.
Tapi inilah satu-satunya kendaraan yang bisa membawa kita pergi dari daerah bencana.
Masuk kota Magelang, Temanggung dan Pantura, saya sudah tidak lagi dengar raungan sirine ambulan. Suasana nampak normal seperti tidak terjadi apa-apa.
Barulah saya tenang. Sampai Jakarta baru besok siang jam 14.00. Cukup lama juga perjalanan Jogja Jakarta lewat darat ini. Durasi 14 jam di tengah jalur yang kosong sepi, terbilang lama. Waktu itu tolnya baru sampai Cikampek.
Masuk Jakarta, polisi Polda Metro nampak lirak-lirik plat nomor AB elf yang kami tumpangi. Untung lampu hijau dan elf terus bergerak.
Tapi sopir sudah bawa surat jalan juga dari Polres Sleman. Aman lah. Dan sudah siapkan juga beberapa lembar uang untuk beli cemilan kalau misalnya pak polisi minta oleh-oleh dari Jogja. Nggak sempat beli Bakpia, kan lagi gempa.
Itu sepenggal kisah bagaimana saya kabur dari raungan sirine ambulan.
oOo
Tapi sirine ambulan hari ini gimana cara menghentikannya? Setiap saat selalu berbunyi gantian dan sahut-sahutan.
Saya juga nggak bisa sewa elf untuk escape dari pusat bencana.
Mau kabur kemana, coba?
Jalan ditutup dimana-mana. Kalau berhasil tembus, di tujuan pun sama saja kondisinya. Sama-sama lagi bencana masal sedunia. Ambulan pun meraung-raung juga.
Yang ada hanya tinggal berdoa agar bencana segera sirna. Sambil terus menjaga diri agar tidak terkena bencana.
Tempat yang paling aman justru rumah kita sendiri. Tidak usah keluar rumah, jaga jarak, pakai masker dobel, cuci tangan pakai sabun, hindari kerumunan, banyak berdoa terus tanpa henti.
Berharap Allah segera turunkan para malaikatnya untuk meredam bencana ini.
Cukup ya Allah kami terus berharap.
Cukup ya Allah kami terus berdoa.
Cukup ya Allah kami terus usaha.
Cukup ya Allah kami terus berduka.
Cukup ya Allah kami terus bertahan.
Sudah mau dua tahun ujian ini belum selesai. Bukannya mereda tapi malah semakin berat saja.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Mata nashrullah?
Ala inna nashrallahi qariiiib.
https://www.facebook.com/100000219936471/posts/4882269345123682/
0 Komentar:
Posting Komentar