Salah satu hal yang sebenarnya bahasan ilmiah, dilakukan oleh para ulama salaf, namun saat ini perlu sangat hati-hati untuk menyampaikannya, bahkan saya condong untuk menyatakan bahwa ini tak perlu disampaikan, apalagi di tengah kalangan awam dan pelajar pemula, adalah tentang tafdhil (pengutamaan) antar ulama (terutama ulama sezaman), bahwa ulama A lebih alim dari ulama B, dst.

Mengapa?

1. Di masa sekarang, dengan begitu meluasnya penggunaan internet dan media sosial, sekat-sekat informasi telah menghilang. Semua orang bisa mengakses apapun. Termasuk dalam hal ini, orang awam dan santri pemula, yang begitu mudah mengakses hal-hal yang belum layak untuk mereka konsumsi.

2. Orang awam seringkali tidak mampu bersikap seimbang dalam urusan ini, karena mereka memang tidak memiliki ilmu dan kedewasaan dalam tema ini. Saat satu ulama dianggap mafdhul (kurang utama), apalagi jika diembel-embeli dengan sebutan tidak layak, maka kalangan awam akan ikut mencela ulama ini -mengikuti gurunya- dan tidak mau beristifadah dari sang ulama.

3. Pihak-pihak yang melakukan tafdhil, baik asatidz dan masyayikh, lokal maupun internasional, kadang (saya tidak berani mengatakan: sering) melakukan tafdhil -bahkan celaan- tanpa sikap adil, dan tanpa melakukan penelitian yang memadai.

Kadang hanya karena beda afiliasi, atau ada perseteruan pribadi, penilaian mereka jadi bias. Apalagi penilaian terhadap orang yang setara dengannya, seorang ustadz terhadap ustadz lain, seorang syaikh (maksud saya dengan 'syaikh' di sini adalah ulama yang sudah sepuh usianya dan senior ilmunya, serta pengakuan terhadap keilmuannya cukup luas) terhadap syaikh lainnya. Karena itu, kita kenal ungkapan: "kalam al-aqraan yuthwa wa laa yurwa", penilaian satu ulama terhadap ulama lain yang semasa dengannya ditinggalkan atau diabaikan saja dan tidak perlu disampaikan ke yang lain.

4. Seringkali tafdhil tersebut tidak ada gunanya juga. Fungsi tafdhil di masa lalu, di antaranya untuk prioritas berguru dan meminta fatwa, artinya ulama yang afdhal dari sisi ilmu, maka ia yang diprioritaskan untuk belajar darinya dan untuk dimintai fatwa.

Tafdhil di era sekarang, bisa juga untuk tujuan itu. Tapi banyak juga yang tidak mengarah ke sana. Malah hanya untuk memenuhi hasrat bermusuhan atau menghina ulama, wal 'iyadzu billah.

5. Yang paling parah, jika yang melakukan tafdhil ini adalah kalangan awam dan pelajar pemula. Penilaian mereka jelas tak ada nilainya, karena faqid asy-syai laa yu'thih, orang yang tak memiliki ilmu bagaimana bisa menilai kadar ilmu orang-orang di atasnya.

Dulu ada seseorang (terlihat dari profilnya, awam dalam ilmu syar'i), menyatakan (berkomentar di status saya) bahwa ustadz fulan itu orang paling alim di Jakarta dan sekitarnya (daerah tempat tinggal orang ini). Saya saat itu tidak menanggapi, meski berpikir juga, bukankah di Jakarta itu banyak orang-orang alim yang jauh lebih senior dari ustadz fulan tersebut.

Beberapa waktu setelah itu, beredarlah beberapa video yang menunjukkan beberapa kekeliruan sang ustadz, dalam perkara-perkara yang tak selayaknya orang sepertinya keliru dalam hal tersebut.

Seorang ustadz keliru mengutip, salah hafalan, lupa sesuatu, atau 'ngeblank' terhadap satu bahasan, hal wajar sebenarnya. Namun ketika namanya diangkat secara berlebihan oleh kalangan awam, kesalahan dan kekeliruan tersebut menjadi bumerang bagi para fans fanatiknya.

Wallahu a'lam.

✓ M4N

https://www.facebook.com/100050299244025/posts/346861410333831/

0 Komentar:

Posting Komentar