Ujian Nasional..... sesuatu yang masih menjadi polemik di masyarakat. Betapa tidak, dari pengalaman dan realita yang terjadi di masyarakat Indonesia, 'makhluk' yang satu ini di tahun-tahun sebelumnya sangat menimbulkan pro dan kontra. Ada yang setuju tetap diadakan, ada yang menolak dengan berbagai alasan.
Hmm... cuma di sini saya tidak mau memaparkan pro dan kontra nya.
Ada sesuatu yang mau tulis, yang saya anggap mungkin lebih tepatnya adalah catatan saya. dari pengalaman saya.
Sebagai guru baru. Guru baru yang masih idealis, walau pun saya rasa masih pas-pasan atau bahkan kurang. Guru baru yang belum genap 3 tahun mengabdi sebagai pendidik dan pengajar. Yang sebentar lagi akan menghadapi yang namanya Ujian Nasional (UN). Kebetulan saya tahun ini memegang satu mata pelajaran yang di UN-kan.
Suatu keadaan serba salah yang akan saya hadapi. Apakah akan melakukan kecurangan UN atau tidak???
Melihat hasil Try Out atau Ujicoba Ujian Nasional yang sudah dijalani oleh anak didik saya, baik yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi atau Dinas Pendidikan Kabupaten, sungguh masih jauh dari yang diharapkan. Nilai yang didapat masih rendah. Dari sini lah bermula dilema. Serba salah. Apakah perlu saya ikut andil dalam kecurangan seperti yang saya dengar dan saya baca, telah dilakukan oleh sekolah-sekolah lain, di kabupaten lain, bahkan di propinsi lain.
Curang....... yang pada intinya untuk membantu siswa yang melaksanakan Ujian Nasional agar berhasil. Agar nilainya memenuhi standar kelulusan. Agar lulus dari SMA. Agar bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau bahkan menggunakan Ijazah untuk melamar. Hmm..........
Jika itu dilakukan, hati kecil berontak. Hmm..........
Di tengah kembimbangan dan keraguan akan keputusan yang mesti saya ambil, akhirnya saya teringat seorang guru. Ibu guru. Guru saya sewaktu masih sekolah. Jauh sebelum saya menjadi Guru seperti sekarang.
Saya beranikan diri mengirim sms pada beliau, sebut saja AH. Berikut rangkaian tanya jawab saya via sms.
Saya : " Ibu, ujian nasional biasanya pian ikut membantu siswa kah menjawab soal ujian nya?"
AH : " Ini siapa?"
Saya : " Anak Pian. Ridhwan"
AH : " Ridwan gurukah?"
Saya : " Iya."
(cukup lama tidak ada balasan)
Saya : " Kayapa bu?"
AH : (sms kosong)
(cukup lama baru ada alasan)
AH : " maaf baru tabalas jg babasuh piring dn ibu mmng manjwbkan ujian"
Saya : " OK. Kalo kada mau apa resiko nya lah?"
AH : " Masalah resiko utk pribadi kt tdk ada apa2 tp krn rasa kemanusian dr seorang penddk itu pertimbangannya dn jg apakah jg kt memang sdh seprofesional mungkin memberikan ilmu kpd siswa shg dia siap UN dn apakah penddkan ssdh sempurna dlm mengangkat seorg gr jd tiggl kamu renungkan sendr dn tahajutlah bl kamu ragu"
Saya : " OK. Terima kasih pencerahan nya"
(berselang beberapa saat)
Saya : " Bu, Sekali lagi. Apa semua sma atau man, melakukan hal yang sama pada ujian nasional tahun tadi?"
AH : " Ibu rasa begitu lebih2 d SMA tp caranya halus dn apakg tahun ini kellsan lebih sulit dn jg kalau d pikir apa bedanya dgn kt d suruh kasih nilai d raport hrs tinggi dgn kkm yg sdh d hrskan min 70 - 75 padahal kemampuan siswa sebenarnya rendah bila kt bandingkan dgn membantu saatUN sama ajakan"
Saya : " Hmm.. Entah lah. Mengapa saat ulun memulai jadi guru sistem nya seperti ini.... Kasihan"
AH : " Itulah dunia memang bl kt dr pertama jd gr dgn dgn otak dn niat yg baik kt pasti akan dlema tp inilah imbas dr pemimpin yg tdk amanah dn hanya menumpuk harta dunia dn rakyat jd korban sistem"
-------0000000--------
Well, begitu pengalaman saya lewat sms. Namun ini masih belum memberi altrnatif pasti akan sikap saya pada Ujian Nasional kali ini. Ada saran dan masukan... ditunggu komen nya sobat.
[Sebuah catatan pengalaman beberapa tahun yang lalu: 11 Maret 2011]
0 Komentar:
Posting Komentar