toleransi
Hari libur natal sudah dua hari yang lalu terlewati. Rupanya diskusi tentang kontroversi bolehkah mengucapkan selamat natal oleh seorang muslim masih saja muncul hingga hari ini, 27 Desember 2012. Setidaknya ini saya jumpai di salah satu forum diskusi milist grup yang saya ikuti. 

Pagi tadi terdapat email dari salah satu anggota milist dengan judul "Dialog Imajiner Muslim dan David". Setelah membacanya, ada beberapa point penting yang saya dapatkan. Pertama bahwa Pengharaman ucapan selamat natal jelas merupakan masalah khilafiah. Ada ulama yg melarang tapi ada ulama lain yg justru menganjurkan. Perihal khilafiyah atau perbedaan pendapat ini memang wajar, dan saya dapat menerimanya mengingat keragaman pendapat oleh banyak orang Islam di dunia. 

Point selanjutnya yang ingin disampaikan oleh sang pengirim email adalah bahwa ucapan selamat natal itu ada dalam ajaran Islam. Ini dapat dilihat dari kalimat yang berbunyi: Apakah ucapan selamat Natal itu ada dasarnya dalam Islam? Tentu saja ada. Nabi Isa (Yesus) sendiri menyatakan sebagaimana dalam Al-Qur'an 19:22 "Keselamatan atas diriku ketika dilahirkan, ketika meninggal dunia, dan ketika (nanti) dilahirkan kembali."

Bahkan untuk menguatkan pendapat pribadinya tersebut, sang pengirim email menyebut beberapa tokoh antara lain: Syekh Qaradhawi yang menganggap mengucapkan selamat merayakan Natal adalah perbuatan muamalah yg baik utk mempererat hubungan baik dg umat Nasrani;  Di Indonesia Dien Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan bahwa ia setiap tahun mengucapkan Selamat Natal kepada sahabat-sahabatnya yg beragama Nasrani; Ustad Quraish Shihab yang ahli tafsir Al-Qur'an itu juga menganggap ucapan selamat natal ini sebagai hal yg mubah; ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Nasrani di negaranya, tapi juga biasa merayakan Natal di gereja. Juga disebutkan bahwa: Sri Paus pernah mengatakan bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatollah Ruhullah Khomeini. Ulama besar Mesir, Sayyid Muhammad Thantawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan hari raya Natal tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen Koptik di gereja-gereja di sana.

Saya yang sebenarnya sudah maklum akan perbedaan pendapat tersebut terdorong untuk memberikan tanggapan, bahkan tanggapan pertama di milist itu. Pendapat pribadi yang menyebut bahwa ucapan selamat natal itu ada dalam ajaran Islam jelas-jelas berlebihan. Ini yang mendorong saya memberikan tanggapan. Saya mengingatkan beliau yang notabene juga muslim, bahwa dikatakan Islam dengan ikrar dua kalimat syahadat disertai dengan kepatuhan pada Allah SWT dan mengikuti/meneladani Rasulullah SAW serta Shahabat Radhiallahu Anhum. Pertanyaannya: Apakah Rasulullah SAW dan para Shahabat pernah memberikan ucapan selamat natal? Tidak!

Pernyataan bahwa ucapan selamat natal itu ada dasarnya dalam Islam jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Baik di Al Quran maupun Hadits Rasulullah SAW tidak terdapat anjuran untuk mengucapkan selamat natal. Bahkan yang terjadi adalah umat Islam disuruh untuk tidak menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu juga Sejumlah pendapat ulama yang beliau paparkan TIDAK DAPAT dijadikan sebagai dalil bahwa ucapan selamat Natal itu ada dalam Islam. Juga cerita tentang adanya "ulama" yang katanya ikut merayakan natal di gereja, sungguh kita berlindung dari yang demikian!


Yang sangat disayangkan terjadi akhir-akhir ini di kalangan umat Islam adalah makna toleransi yang menyimpang dari makna asalnya. Seolah-olah bahwa toleransi itu harus dengan ikut serta bergembira dengan sesuatu yang dirayakan teman kita, meski bertolak belakang dengan keyakinannya, atau paling tidak dengan bentuk ucapan selamat natal tadi. Beberapa orang menganggap bahwa itu hanya ucapan, bukan merayakan. Mereka lupa bahwa merayakan itu dapat diartikan sebagai perbuatan membesar-besarkan. Dan salah satu perbuatan membesar-besarkan itu adalah dengan menyebarkan ucapan selamat itu. Tengok saja hari ulang tahun yang sebenarnya biasa-biasa aja, akan menjadi besar maknanya bagi orang yang berulang tahun jika kita beri ucapan selamat. Beda dengan apabila kita diam saja.

Tentang toleransi beragama yang disalahartikan ini  sudah pernah diungkapkan oleh Prof Buya Hamka dalam tulisan beliau yang berjudul "Bisakah Suatu Fatwa Dicabut". Ada baiknya kita menyimak tulisan beliau tersebut. Tulisan itu beliau tutup dengan kalimat:
Rasa hati sanubari itu tidak dapat dijual dan tidak dapat dibeli. Apa yang terasa di hati, itulah yang dikeluarkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada barangsiapa yang patut dihormati. (HAMKA).

Bagi saya, cukuplah toleransi itu dengan membiarkan mereka yang beragama Kristen untuk merayakan Natal dan tidak mengganggu mereka, yang sebagian juga adalah teman-teman dekat saya sendiri. Saya tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti saya tidak menghormati teman-teman saya yang beda akidah tersebut. Justru dengan saya diam (tidak mengucapkan selamat natal) dan tidak mengganggu itu lah wujud penghormatan saya pada ibadah mereka dan wujud penghormatan pada akidah yang saya yakini selama ini. Islam! 

Semoga dengan ini kita tidak terjerumus pada kemunafikan sebagaimana kekhawatiran yang tersirat oleh Buya Hamka di tahun 80-an silam dalam tulisannya. Semoga bermanfaat!

2 Komentar:

  1. sikap yang demikian itu adalah sebaik-baik sikap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pak Herman atas kunjungannya. Kapan balik ke kampus?

      Hapus