Dwi Intan Nurcahyono Muhammad Ilyas
Segala warna akan pudar, kuil akan ambruk, kerajaan akan runtuh, tetapi kata-kata-kata bijaksana akan tetap abadi.  Demikian satu pameo yang diberikan oleh seorang penulis ternama Edward Thorndike.

Kata-kata bijaksana itu akan tetap abadi dalam wadah tulisan, baik berupa manuskrip maupun buku hingga dunia maya sekalipun. Jadi, tulislah sesuatu untuk orang lain atau tulislah untuk diri sendiri dengan kata-kata bijaksana. Kata-kata bijaksana adalah sahabat keabadian sejarah kehidupan manusia.

Terlepas apakah kebenaran dua paragraf diatas bersifat mutlak atau tidak, rasanya sudah mampu untuk menggugah kita, para guru, untuk menulis. Terlebih mulai tahun 2013 yang tinggal beberapa hari lagi, para guru diharuskan untuk membuat karya tulis ilmiah untuk persyaratan beberapa kenaikan pangkat golongan. Dan ini bagi kebanyakan para guru mungkin akan terasa akan sulit jika tidak terbiasa menulis.

Salah satu cara yang paling mudah dalam menapak tulisan ilmiah adalah dengan teknik menulis saduran. Menyadur secara sederhana dapat diartikan sebagai menulis kembali suatu tulisan dengan bahasa sendiri. Ini berbeda dengan istilah copy paste.

Karya saduran hampir sama dengan karya terjemahan. Keduanya sama-sama menyampaikan pesan baru atas karya aslinya. Jika pada terjemahan memiliki ketetatan dalam keteralihan dari bahasa induk ke bahasa kedua, maka dalam saduran terdapat kelonggaran dalam bahasa pesan. Saduran memiliki bahasa penyampaian yang lebih simpel dan fleksibel. Bahkan kadang karya tulis saduran bisa lebih hidup dibanding karya aslinya.

Ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin menyadur, yaitu hendaknya:
  1. menguasai bahasa karya asal
  2. memahami gagasan utama karya asal
  3. menguasai bahasa saduran
  4. memahami aturan penyaduran
  5. mengetahui berbagai bentuk karya tulis
  6. menguasai aturan penulisan berbagai bentuk karya tulis.

Selanjutnya terdapat beberapa langkah dasar dalam menulis karya saduran, diantaranya:
  1. membaca secara cermat karya asal dengan gaya membaca skimming;
  2. mencari gagasan utama karya asal;
  3. membuat kerangka alur karya asal dalam bentuk ikhtisar;
  4. menentukan karya baru dengan ciri khasnya (fiksi atau nonfiksi);
  5. menulis karya tulis saduran atas gagasan utama, kode bahasa, kode budaya dan kemasyarakatan dalam karya asal
  6. mengevaluasi ketepatan hasil penulisan karya saduran sesuai ciri karya tulisnya, untuk ini bisa dilakukan misalnya dengan bantuan expert.

* Disarikan dari presentasi Pak Naijan, S.Pd, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA) dalam rankaian acara di hotel Jayakarta, 15 - 17 September 2012.

0 Komentar:

Posting Komentar