Oleh oleh adalah kata-kata yang cukup eneg ku dengar akhir-akhir ini. Betapa tidak, mentang-mentang habis bepergian, kata "oleh-oleh" selalu dan selalu saja didengungkan oleh orang-orang di sekelilingku (baca: teman-teman kuliahku) saat ini. Padahal aku bepergian itu bukan untuk pelesiran, jalan-jalan menghabiskan uang yang berlebih. Sama sekali tidak. Selama liburan tadi, kurang lebih 3 minggu lamanya, adalah untuk berkumpul kembali bersama keluarga yang ku tinggalkan sementara di kampung. Dari Jakarta hingga rumah di pelosok Kalimantan Selatan ku tempuh dengan biaya pas-pasan. Sampai di rumah pun, terpaksa harus ngambil uang belanja anak istri untuk bayar ojek...


Pada kepulangan Desember tadi, kata oleh-oleh tidak diminta oleh istriku. Sebab sebelumnya memang tidak ada niat untuk pulang kampung, mengingat keuangan yang mulai menipis. Meski begitu, aku tetap membawakan sesuatu yang menjadi salah satu kesukaan istri. Tidak dari Jakarta seperti yang lalu-lalu, kali ini ku sempatkan membeli dalam perjalanan dari bandara Syamsuddin Noor menuju rumah, buah durian. It's wonderfull.. Setelah beberapa hari kemudian kami berkunjung dan selama seminggu tinggal menginap di rumah orangtuaku di desa Sirih, di Kandangan. Mungkin berkat kesabaran istriku, ALLAH SWT memberikan nikmat buah durian selama satu minggu itu, full. Tiap hari tiap malam, kadang pagi kadang sore, kami menikmati buah hasil tanaman kakek nenek tempo dulu. Alhamdulillah.. Semoga amal ibadah mereka diterima oleh ALLAH SWT.


Tidak ku pungkiri, kata oleh-oleh telah menghantui pikiranku. Seolah-olah wajib bagi ku, yang sampai ini tiap bulan pulang pergi Jakarta-Banjarmasin, untuk selalu membawa oleh-oleh. Ini tidak lain adalah akibat sebagian teman-teman yang selalu celoteh minta dibawakan oleh-oleh dari kampung. Entah itu lewat sms, email atau komentar di facebook. Akibatnya, aku pun tidak 'berani' untuk sekedar silaturahmi pada teman-teman guru SMAN 1 Angkinang tempatku bertugas sebelum kuliah ini. Hanya karena aku pulang dengan 'tangan kosong'. Maafkan aku... Bukan berarti aku pelit, tapi memang situasi masih tidak mendukung.


Mungkin tidaklah salah stigma bahwa sehabis bepergian itu selalu membawa oleh-oleh. Tapi apakah harus dan wajib? Nggak, kan...?? Membawa oleh-oleh itu baik, tapi jika tidak, juga tidak masalah. Nggak bakalan berdosa juga kok. Aku yakin itu..


Untuk teman-teman kuliahku, sebenarnya pas waktu mau berangkat sudah ada niat sih untuk membeli oleh-oleh khas dari daerahku. Namun sayang belum kesampaian. Itu disebabkan karena aku merasa terburu waktu untuk cek in di bandara. Sangat khawatir bila terlambat cek in, tiket bakalan hangus dengan konsekuensi harus beli tiket baru yang pasting lebih mahal. Mau beli sesuatu di bandara, kayaknya super mahal deh. Bayangkan, aqua botol ukuran 600 ml saja harganya Rp. 8000 rupiah, yang jika di-ecer diluar hanya Rp 2.500 hingga Rp. 3000. Sampai-sampai aku pun mengurungkan niat untuk beli tuh aqua botol di salah satu gerai bandara Syamsuddin Noor.


Nggak apa-apa deh.. Beli dodol garut aja di pasar Paseban, Jakarta Pusat he he.. Kayaknya lebih awet daripada dodol Kandangan. Terlintas di benakku, bagaimana caranya ya agar dodol Kandangan bisa dipasarkan meluas ke seluruh Indonesia. Aneka jajanan yang berasal dari Jawa bisa tahan lama dengan kemasan yang menarik dan bisa dipasarkan dengan luas, ditemukan dengan mudah di supermarket dan pusat perbelanjaan lainnya. Mengapa jajanan khas kita "urang banua" kok hanya muter-muter di wilayah kalimantan selatan saja. Kemasannya pun terbilang biasa. Semoga pemerintah dan pengusaha bisa ambil peduli pada hal ini..

0 Komentar:

Posting Komentar