Kecil-kecil Naik Haji 

Dr. Ahmad Sarwat, Lc.MA

Lagi cerita dengan salah seorang saudara yang lagi menunaikan ibadah di Mina. Beliau cerita kebanyakan jamaah haji itu lansia. Kasihan sekali mereka, di rumah saja mau ngapa-ngapain sudah susah, lha ini pakai acara pergi haji dan bermalam di Mina. 

Padahal kondisinya agak mengenaskan di Mina itu. Tenda tidak muat, banyak yang hanya gelosoran di tanah. WC amat terbatas, antrian sepanjang itu pun airnya tidak ada. Hanya mengandalkan botol-botol air. 

Saya bilang memang sebaiknya berhaji itu di waktu masih muda, sehingga ibaratnya anak muda naik gunung, kondisi sedarurat apapun santai saja. Kebayang bagaimana kakek-kakek diajak naik gunung, pasti repot dan ribet sekali. 

Lalu saya jadi ingat dulu saya pergi haji ketika baru lulus SMA, sudah kuliah tapi baru semester 2. Itupun haji yang kedua, sedangkan haji yang pertama malah lebih muda lagi, yaitu ketika usia saya belum genap 2 tahun.

* * *

Almarhumah ibunda saya, Dra. H. Chodidjah Djumali cerita ke saya bahwa sebelum kami pulang ke Indonesia, kami menunaikan ibadah haji terlebih dahulu. Konon itu di tahun 1971.

Dan saya yang belum genap 2 tahun saat itu terpaksa dibawa ikut naik haji. Karena tidak mungkin ditinggal atau dititipkan. Sebab ayah ibu saya waktu itu masih tinggal di Cairo. Tidak ada istilah anak dititipkan nenek, bibi atau keluarga.

Punya anak kecil mau haji terpaksa dibawa juga. Maka jadilah saya yang masih lucu-lucunya itu sudah diajak ikut wukuf ke Arafah, Muzdalifah, dan bermalam tiga hari Mina. 

Kalau zaman sekarang rasanya tidak mungkin berhaji ngajak bayi, tapi zaman segitu masih bebas nampaknya. Sebebas orang umrah zaman sekarang yang bisa juga bawa anak-anak bahkan bayi.

* * *

Cerita ibu saya, namanya anak kecil, suka lari-lari kesana kemari. Pas shalat berjamaah di Madinah, saya diajak ibu saya ikut shalat ke Masjid Nabawi. Awalnya saya berdiri di samping ibu saya, tapi giliran jamaah pada sujud, saya pun menikmati pemandangan sambil berlari-larian di antara shaf-shaf jamaah. 

Karuan saja ibu saya langsung membatalkan shalatnya dan sibuk mengejar-ngejar saya yang asyik berlari-larian. Dari pada anaknya hilang di Masjid Nabawi, mendingan batalin shalat.

Besoknya ibu saya membeli tali yang diikatkan di pinggang saya. Biar kalau saya lari kemana, masih ada talinya. Begitu cerita ibu saya.  

* * *

Saya sendiri sama sekali tidak ingat peristiwa itu secara jelas. Tapi tiap melihat pemandangan orang menyebut di Arafah dan Mina, saya seperti merasa de Javu, kayak pernah kesitu rasanya. Mungkin itu hanya perasaan saya saja. 

Lagian kalau pun dianggap sah hajinya, namun anak kecil yang belum baligh itu kalau pun dia berhaji, tetap ada kewajiban pergi haji lagi bila sudah baligh. Haji yang dia lakukan di masa kecil itu jatuhnya haji sunnah. 

Sedangkan saya sendiri di usia belum genap dua tahun belum terbilang haji, karena belum mumayyiz. Sehingga meski sempat ikut ke Arafah dan Mina, tetap saya masih wajib haji lagi.

* * *

Dan di tahun 1991 ibunda saya mengajak lagi saya pergi haji. Kali ini tentu saya tidak lari-lari lagi dan tidak diikat dengan tali. Justru saya yang berlari mengejar-ngejar ibu saya yang berlari mencari bus di Muzdalifah. Rupanya ada insiden, kita ditinggal oleh bus di Muzdalifah ketika turun cari batu. 

Saya ikuti dari belakang ibu saya waktu itu. Beliau lari sekuat-kuatnya mengejar bus yang tidak sadar ada jamaahnya yang tertinggal. Wah itu kenangan indah. 

Gambar ilustrasi hanya pemanis, saya tidak punya foto asli waktu dulu haji di usia dua tahun.

https://www.facebook.com/100000219936471/posts/pfbid02jarTXYjLffYZyMPM5VWrwv7dmqL64Zvkxvd5AeTcvRBGsMRfMf2koC51kuwJsn3Ll/?mibextid=Nif5oz

0 Komentar:

Posting Komentar