Pada 1889 atau 1890, terbit sebuah kitab berjudul Minhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah. Kitab ini ditulis Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi, lebih dikenal sebagai Usman. Buku itu berisi, di antaranya, 22 praktik bidah yang terlarang dilakukan umat Islam. Salah satu yang ia kritik adalah sikap menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagaimana diulas oleh Azyumardi Azra, tidak heran jika sosok yang bekerja untuk Snouck Hurgronje—orientalis tersohor yang sering dicap begitu buruk itu—itu menyerang para ulama di Banten yang terlibat jihad perlawanan para petani pada pemerintah kolonial pada 1888. Ia menyebut jihad rakyat Banten sebagai delusi atas ajaran Islam yang benar dan menuduh ulama yang mendukungnya, termasuk para kiai pesantren, sebagai para pengikut setan. Pada 1898, setahun setelah Sang ditunjuk pemerintah kolonial sebagai Mufti Batavia, ia diminta menyusun doa khusus untuk Ratu Belanda Wilhelmina yang akan dilantik ke singgasana. Ia membuatkan doa untuk Sang Ratu seraya memuji pemerintah kolonial yang dianggap berbaik hati mengizinkan umat Islam menjalankan kewajiban agama dan menjaga ketenteraman tanah jajahan. Kapan dan di mana doa itu dibacakan? Di Masjid Pekojan pada 2 September 1898 setelah salat Jumat (Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia, 2012: hlm. 180-183). Apakah mungkin seorang sayid, yang diyakini keturunan Nabi, sudi bekerja dan memuji penjajah Kristen? Kenyataannya: iya. Lagi pula, cucu dari Syaikh Abdurrahman Al-Mishri dan guru dari Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Kwitang itu bukan satu-satunya yang bersikap baik, hormat, dan kooperatif pada pemerintah kolonial. Sepotong cerita tentang Usman di atas dikutip untuk mengingatkan: Tidak ada kaum yang kebal dari sejarah pergumulan dengan kekuasaan, dan dalam pergumulan itu selalu ada dinamika yang seringkali keras. Pergumulan itu niscaya akan membuat umat terguncang jika melulu dilihat dengan cara pandang esensialis: etnis X sudah pasti bejat dan semua ras Y mulia. Ahmad Surkati Pemicu Polemik Orang-orang Arab di Hindia Belanda bukan hanya berasal dari Hadramaut. Berabad-abad sebelumnya, orang Arab dari pelbagai kawasan, termasuk Gujarat (India), sudah ada di Nusantara. Namun pada abad ke-19, dan kian massif sejak awal abad ke-20, orang-orang Arab dari Hadramaut semakin menonjol. Berdiri koloni-koloni Hadramaut di pelbagai kota koloni, dari Batavia, Cirebon, Semarang, Pekalongan hingga Surabaya. Laporan sezaman yang cukup rinci tentang koloni-koloni Arab ini bisa dibaca dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Indonesia karya L.W.C van Den Berg, khususnya halaman 67-78. Gagasan modern tak terhindarkan menerpa orang-orang Hadramaut ini, hampir bersamaan dengan modernisasi kehidupan orang Cina di Hindia Belanda. Salah satu indikasinya adalah kemunculan Jamiat al-Khair pada 1901 yang baru disahkan pemerintah kolonial pada 1905. Kepemimpinan awal organisasi ini didominasi kelompok dari marga Bin Shahab dan al-Mashur, walau kelompok non-sayid juga mungkin dan telah diakomodasi hingga level tertinggi. Seorang non-sayid, Salim bin Awad Balwail, bahkan menjadi wakil ketua organisasi itu pada 1906. Pada 1906 mereka mendirikan sekolah modern di Pekojan, yang segera diikuti pendirian sekolah-sekolah serupa di Krukut, Tanah Abang, dan di Bogor. Selain mempelajari Alquran dan agama Islam, sekolah-sekolah ini juga memuat pelajaran "sekuler" seperti matematika, geografi, dan bahasa Inggris. Dari sinilah bermunculan sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh orang-orang Hadramaut, baik sayid maupun non-sayid, di pelbagai kota (Pekalongan, Solo, dan Surabaya). Karena perkembangan sekolah Jamiat al-Khair makin pesat, dibutuhkan keseriusan dan perhatian yang lebih besar untuk terus mengembangkan mutu pengajaran. Pada 1911, diundanglah Syekh Ahmad Surkati, kelahiran Sudan yang menerima pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah. Ia diangkat sebagai inspektur pendidikan di sekolah-sekolah Jamiat al-Khair. Namun keberadaan Surkati di Jamiat al-Khair hanya sebentar. Ia segera memercikkan polemik karena pandangan-pandangannya yang reformis, terutama dalam soal adat-istiadat terkait posisi dan segala keistimewaan sayid. Salah satu titik didih saat ia membolehkan pernikahan seorang syarifah, perempuan keturunan sayid, dengan non-sayid. Pernyataan itu diungkapkan di Solo pada 1913 dan itulah mengapa kadang disebut sebagai "Fatwa Solo" (Taufik Abdullah, dkk., Muncul dan Berkembangnya Faham-Faham Keagamaan Islam di Indonesia, 2008: hlm. 71). Fatwa itu muncul karena si gadis syarifah tinggal serumah dengan seorang Cina yang belum menjadi muslim. Ia menyarankan agar orang-orang Hadramaut mengumpulkan uang untuk membantu keperluan si gadis agar bisa meninggalkan pasangannya. Tapi tak ada yang menyumbangkan uang. Karena itulah Surkati menawarkan solusi praktis: gadis itu dikawinkan saja dengan laki-laki muslim. Usulan ini ditolak karena seorang syarifah hanya boleh menikah dengan sayid. Tak hanya itu, Surkati menampik keharusan orang-orang non-sayid untuk mencium tangan para sayid. Salah satu pengikut anjuran Surkati adalah Omar Manqush, seorang Hadrami non-sayid yang aktif dalam pendirian Jamiat al-Khair. Surkati bahkan mengatakan panggilan sebagai gelar kehormatan tidaklah tepat karena baginya itu setara panggilan "Mijnheer" dalam Belanda atau "Monsieur" dalam Perancis (Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000, hlm. 153). Surkati memutuskan keluar dari Jamiat al-Khair karena merasa dieksklusi. Ia sempat ingin kembali ke Mekkah, tapi ditahan oleh kolega-kolega Arab-nya yang bersimpati pada pandangan-pandangan dan dedikasinya pada pendidikan Islam. Ia ditampung sementara oleh Umar Manqush, pemuka Arab non-sayid, seorang Kapiten Arab. Lalu para simpatisan Surkati itu mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah yang pengelolaannya diserahkan kepada Surkati. Sekolah itu berada di Jati Petamburan dan dari sanalah cikal bakal berdirinya al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-Arabiyah. Organisasi ini mendapatkan pengesahan dari pemerintah kolonial pada 11 Agustus 1915, meski klaim resmi al-Irsyad menyatakan berdiri pada 6 September 1914, bertepatan dengan pembukaan sekolah di Jati Petamburan (Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, 2006: hlm. 4). Namun, para sayid masih menolak pandangan-pandangan Surkati. Sebuah pertemuan al-Irsyad di kediaman Syekh Isa bin Badr diganggu sampai terjadi insiden kekerasan. Aparat keamanan sampai turun tangan. Tiga orang pengikut Surkati dikabarkan terluka (lihat: Huub de Jonge). Konflik Alawi-Irshadi Agar tak salah paham, seperti ditegaskan Natalie Mobini-Kesheh, al-Irsyad bukanlah organisasi yang secara politik menabukan para sayid. Mayoritas pengikut Surkati memang berasal dari kelompok non-sayid, tapi ada juga para sayid dengan pandangan reformis yang bersimpati pada pandangan-pandangan Surkati. Para sayid diizinkan dan dimungkinkan bergabung dan bahkan ada yang menjadi penyumbang dana, terutama Sayyib Abdullah bin Alwi Al-Attas, yang juga kecewa kepada Jamiat al-Khair. Ia menyumbangkan uang 60 ribu gulden (Deliar Noer, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, hlm. 64). Bahkan ada yang menempati posisi penting di al-Irsyad yaitu Abdullah bin Abu Bakar al-Habshi, yang menjadi presiden komite sekolah al-Irsyad yang pertama (Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942, 1999: hlm. 63). Selain itu, perlu juga ditandai bahwa polemik yang dipicu pandangan Surkati ini, tidaklah sesederhana konflik antara kaum Hadrami kolot vs modern. Menurut Michael Laffan, seluruh friksi ini berlangsung antara kaum modernis Hadrami, yang sudah mulai berpandangan terbuka terhadap perkembangan modernitas dan sama-sama menerima pengaruh gerakan Pan-Islamisme. Perbedaan terbesarnya, mula-mula, di sekitar privilese para sayid (isu pernikahan syarifah dan tradisi mencium tangan adalah turunan dari privilese itu). Isu tentang kesetiaan pada tanah leluhur Hadramaut atau pada tanah air Hindia yang sedang dipijak belum mencuat tajam. Bahkan al-Irsyad masih tetap mengakui pentingnya merawat identitas sebagai orang Hadrami. Privilese kasta pun, tidak jarang, masih muncul dalam kegiatan-kegiatan al-Irsyad (Laffan, Archipel no. 62, 2001: hlm. 226-231). Hanya saja, kecurigaan pada al-Isryad tidak kunjung mencair, bahkan semakin tajam seiring berdiri ar-Rabithah al-Alawiyah pada 1928 yang diniatkan merawat dan menjaga keturunan Nabi, dengan cara memverifikasi dan mengotentifikasi mana yang sayid dan mana yang bukan. Selain itu, keberadaan sejumlah sayid di kelompok al-Irsyad bikin runyam. Usaha mempertahankan privilese berlangsung ke mana-mana.(Bersambung)
sumber:
https://www.facebook.com/rushdyhoesein/posts/4913380332053567?__cft__[0]=AZUlWcvdiynvrXgDlWdeEl7-rZQ8KIWngblAhW_MOAL8XQYSeJ6Ns5Rhj-fCEofd-Jhz75HiPh1peWX17F7PFkp2jLKRt0m55wIM-ZmeCnc0Di50OMAVrBXof4sZq9-SJu90HxiRoP3K5SP4g2MVB0C68yUOq20OdPeyVkdqKBQG6yw6hD7OwAEm-SKsvpRBV0k&__tn__=%2CO%2CP-y-R
0 Komentar:
Posting Komentar