Tulisan ini adalah mengenai pendidikan dasar di Jepang yang merupakan pengalaman langsung teman saya. Teman Fb saja, yang kini berada di Jepang lagi kuliah S3. Ada dua anak dari teman saya itu yang bersekolah dasar di Jepang. Seorang kelas 1 dan seorang kelas 3. Berikut beberapa yang bisa saya ambil.
Di sekolah dasar Jepang secara resmi tidak ada rangking. dan tidak ada yang namanya saing saingan sengit untuk meraih nilai. Tapi adalah kenyataan bahwa sebenarnya murid Jepang itu biasa biasa saja. Anak SD belum dikenalkan komputer dan sejenisnya.
Jepang menggunakan kearifan lokal dalam mendidik anak anaknya, bukan menggunakan teknologi canggih. Sejak kelas 1 dan 2, anak SD itu hanya diajarkan Hiragana dan katakana. Untuk bisa naik klas 2 harus hafal 80 kanji. Huruf alpabet baru diberikan setelah kelas 3. Nanti 15-20 tahun lagi, barulah anak-anak Jepang yang "biasa-biasa" tadi akan melanjutkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.
Suatu saat orang tua siswa dipanggil ke sekolah. Acaranya adalah konsultasi. Orang tua bertemu guru kelas satu per satu selama setengah jam untuk diberitahu bagaimana perkembangan anak di sekolah. Konsultasi dilakukan secara pribadi, dan bukan klasikal. Pertemuan dibantu penerjemah Bahasa Jepang ke Bahasa Inggris. Translatornya sudah fasih berbahasa Inggris.
Apabila ada problem orangtua diberitahu dan boleh menyampaikan kepada guru. Orang tua ke sekolah bukan pada saat penerimaan raport saja. Tidak juga membicarakan sumbangan dan juga keluh sekolah akan mahalnya biasa pendidikan. Tidak juga anjuran terus menerus bahwa sebetulnya pendidikan itu tanggung jawab bersama. Karena guru hanya beberapa jam bertemu sedangkan orang tua lebih banyak. Bagi guru Jepang pendidikan itu ya tanggung jawab mereka. Untuk itulah mereka menjadi guru! Guru-guru di Jepang adalah lulusan terbaik di angkatannya.
Bulan Desember ini, Di Jepang, secara default, jika kita tidak minta ijin, maka siswa SD secara otomatis ikut kegiatan natal. Walaupun Jepang meyakinkan kita bahwa acara itu nggak ada acara ritual sesuai prinsip sekulerisme Jepang. Di negara sekuler dan liberal minoritas mengikuti kemauan mayoritas adalah hal biasa.
Anak-anak muslim diberikan ijin untuk melaksanakan sholat. Sekolahnya dan sensei membantu. bahkan termasuk peralatan sekolah kalau tidak punya. Bentou sekolah juga sangat diperhatikan kehalalannya.
Di sekolah dasar Jepang secara resmi tidak ada rangking. dan tidak ada yang namanya saing saingan sengit untuk meraih nilai. Tapi adalah kenyataan bahwa sebenarnya murid Jepang itu biasa biasa saja. Anak SD belum dikenalkan komputer dan sejenisnya.
Jepang menggunakan kearifan lokal dalam mendidik anak anaknya, bukan menggunakan teknologi canggih. Sejak kelas 1 dan 2, anak SD itu hanya diajarkan Hiragana dan katakana. Untuk bisa naik klas 2 harus hafal 80 kanji. Huruf alpabet baru diberikan setelah kelas 3. Nanti 15-20 tahun lagi, barulah anak-anak Jepang yang "biasa-biasa" tadi akan melanjutkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.
Suatu saat orang tua siswa dipanggil ke sekolah. Acaranya adalah konsultasi. Orang tua bertemu guru kelas satu per satu selama setengah jam untuk diberitahu bagaimana perkembangan anak di sekolah. Konsultasi dilakukan secara pribadi, dan bukan klasikal. Pertemuan dibantu penerjemah Bahasa Jepang ke Bahasa Inggris. Translatornya sudah fasih berbahasa Inggris.
Bulan Desember ini, Di Jepang, secara default, jika kita tidak minta ijin, maka siswa SD secara otomatis ikut kegiatan natal. Walaupun Jepang meyakinkan kita bahwa acara itu nggak ada acara ritual sesuai prinsip sekulerisme Jepang. Di negara sekuler dan liberal minoritas mengikuti kemauan mayoritas adalah hal biasa.
Anak-anak muslim diberikan ijin untuk melaksanakan sholat. Sekolahnya dan sensei membantu. bahkan termasuk peralatan sekolah kalau tidak punya. Bentou sekolah juga sangat diperhatikan kehalalannya.
0 Komentar:
Posting Komentar