Pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu agenda besar yang digulirkan oleh reformasi empat belas tahun silam. Sejak masa itu hingga kini, jalannya pemerintahan Republik Indonesia, telah dikomandoi oleh empat presiden yang berbeda. Berbagai peraturan dan kebijakan telah ditetapkan dan dijalankan untuk membersihkan birokrat dari yang namanya KKN. Namun sampai sekarang, sepertinya agenda besar itu belum lah tuntas juga. Memang banyak para koruptor telah dijatuhi hukuman sesuai undang-undang tipikor, namun jumlah yang belum terungkap ditambah yang melarikan diri dengan uang haramnya sepertinya lebih banyak lagi.

Kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini pun mengalami penurunan. Menurut jajak pendapat terbaru yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI), kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memberantas korupsi hanya mencapai 44 persen. Dan ini adalah yang terendah selama pemerintahan SBY. Dalam survey yang dilakukan LSI sebelumnya, kepercayaan publik selalu berkisar di atas 50 persen (Republika, 9 Januari 2012).

max havelaar


Hal tersebut menambah kuat dugaan bahwa perilaku KKN telah lama berurat dan berakar pada para birokrat di negeri ini, sehingga sangat susah dihilangkan. Film Max Havelaar yang diproduksi tahun 1974 menggambarkan betapa budaya KKN telah lama merasuk di tubuh birokrat kala itu. Film yang pernah memenangkan film terbaik non-bahasa Inggris di Denmark itu sendiri berangkat dari  novel terkenal di dunia karya besar Multatuli pada tahun 1859. Oleh pemerintahan orde baru, film ini dicekal selama 11 tahun dan hingga kini sulit ditemukan di pasaran, karena mengkritik budaya birokrat negeri ini yang syarat KKN dan kejahatan lainnya.

Max Havelaar kedudukannya adalah asisten residen kala itu, suatu jabatan tinggi dan ditakuti masyarakat.  Ia menyaksikan penjarahan, kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh kepala polisi setempat setiap hari. Ia mencoba untuk intervensi, membela penduduk yang lemah. Namun sayang ia tidak berdaya dalam menghadapi KKN yang dilakukan oleh residen dan konco-konconya.  Max Havelaar kemudian ditempatkan ke provinsi lain, dia dipindahtugaskan, dimutasi. Max Havelaar tidak berhenti sampai disitu, dia berusaha menemui Gubernur Jenderal. Namun tetap mendapat hasil yang mengecewakan.

Bisa jadi, adegan demi adegan di film Max Havelaar tersebut juga terjadi di zaman sekarang, yang tentunya dalam situasi dan keadaan yang berbeda. Kita bisa menyaksikan dan mengetahui sendiri, ada seorang bupati yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat daripada mengabulkan hajat para konglomerat . Akibat pendiriannya itu ia mendapat permusuhan dan hinaan, bahkan oleh gubernur sebagai atasannya sendiri.

Salah satu kasus yang pasti kita ingat adalah kasus pidana yang menjerat mantan ketua Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. KPK dibawah kepemimpinan Antasari mebuat gebrakan di antaranya menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Suatu prestasi yang mencuri perhatian tersendiri dari masyarakat. Namun sayang, kiprah Antasari tidak lama. Ia harus menerima hukuman penjara karena dianggap terbukti bekerjasama dengan Sigid Haryo Wibisono untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran.

Hukuman yang sungguh berbanding terbalik dengan prestasi Antasari selama menjadi pimpinan KPK tersebut telah memunculkan spekulasi dan dugaan adanya rekayasa. Banyak yang menduga bahwa ada orang yang tidak suka dengan prestasinya di KPK, sehingga ia harus disingkirkan dengan kasus selain kasus korupsi. Namun ini hanyalah sebatas dugaan yang kebenarannya harus dibuktikan kembali.

Semua itu hanyalah beberapa kasus yang terjadi di negeri ini, yang menunjukkan betapa muramnya wajah para birokrat kita. Birokrasinya sendiri sampai sekarang masih jauh dari harapan. Aneka pungutan liar, suap menyuap masih marak terjadi. Sesuatu yang mestinya harus dibenahi dan diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya?

Bagaimana pun juga, tentu semua sepakat dengan kaidah lebih baik melakukan tindakan preventif daripada represif. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Dan pencegahan inilah yang menurut saya harus dilakukan oleh bangsa ini. Di samping tentunya mengobati penyakit yang sudah diderita. Jangan sampai yang masih sehat juga menjadi sakit.

Untuk urusan pengobatan korupsi, kita percayakan sepenuhnya kepada pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh tiga pilar: kepolisian, kejaksaan dan KPK. Sedangkan urusan pencegahan, setidaknya saya melihat ada dua hal, yaitu regulasi dan kesadaran diri.

Mengenai regulasi, hal ini bisa dipaksakan kepada setiap warganegara. Jika pemerintah telah menetapkan suatu peraturan perundang-undangan, mau tidak mau seluruh rakyat Indonesia harus patuh. Pemerintah bisa memaksa. Jika ada warganegara yang membangkang, segera diambil tindakan represif dengan polisi, jaksa atau KPK. Sedangkan kesadaran diri, sifatnya lebih cenderung kepada pribadi masing-masing. Yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini hanyalah sebatas melakukan sosialisasi dan himbauan.

Salah satu tindakan preventif terkait regulasi yang sudah dilakukan pemerintah adalah mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) pada beberapa kementrian seperti kementrian keuangan, bahkan hingga kementrian pendidikan dan kebudayaan. Hanya saja hal ini masih gagal mencegah tindak korupsi. Kasus Gayus Tambunan adalah contoh pada kementrian keuangan. Sedangkan pada kementrian pendidikan dan kebudayaan,  kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Biaya Operasional Sekolah (BOS) berturut-turut menduduki peringkat pertama dan kedua versi ICW. Dan korupsi yang terjadi di pendidikan ini masih menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia (Republika.co.id, 12 Januari 2012)

Untuk mencegah terjadinya korupsi bidang pendidikan, khususnya dana DAK dan BOS, mengapa pemerintah tidak menetapkan suatu alokasi anggaran untuk panitia pelaksana proyek tersebut. Seperti kita ketahui, yang menjadi ujung tombak proyek tersebut adalah para Kepala Sekolah dibantu guru sebagai panitia. Masalahnya adalah biasanya proyek semacam itu tidak ada alokasi anggaran dana untuk panitia pelaksana. Sedangkan guru mempunyai tugas dan tanggungjawab utama yang tidak sedikit, mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi pembelajaran hingga perbaikan dan pengayaan bagi siswa. Di sini lah kadang muncul pemikiran untuk "menyunat" sebagian dana proyek tersebut untuk "uang lembur" panitia. Oleh karena itu, dengan menetapkan alokasi anggaran bagi panita, bisa jadi korupsi tidak dilakukan lagi oleh panitia pelaksana.

Terlepas dari regulasi, kesadaran diri seorang panitia pelaksana sebenarnya yang sangat mempengaruhi apakah ia akan korupsi atau tidak. Kejujuran lah yang utama. Wajar jika salah satu kampanye KPK sekarang adalah "Berani jujur hebat! Jujur langkah awal berantas korupsi". Dengan kejujuran, seseorang tentu tidak akan mau  menggunakan  uang yang bukan miliknya untuk kepentingan pribadi. Contoh sederhana, jika seorang guru di pedesaan membantu siswanya untuk memfotocopy bahan pelajaran dengan biaya per lembar Rp. 75. Guru yang jujur tidak mungkin meminta Rp. 100 per lembar kepada para siswanya. Jika itupun dilakukannya, maka ia harus mengatakan secara terbuka bahwa kelebihan Rp. 25 per lembar adalah untuk "uang lelah". Jika tidak disampaikan secara fair, maka ia telah melakukan korupsi uang para siswa.

Tentu saja kejujuran ini berat untuk dilaksanakan, terlebih untuk dana yang tidak sedikit. Faktor atasan dan lingkungan kerja seorang abdi negara juga sangat mempengaruhi ketidakjujuran seseorang. Hanya orang-orang yang memang hebat lah yang bisa jujur di zaman sekarang ini. Di samping itu, keberadaan watak seperti tokoh utama Max Havelaar dalam filmnya juga sangat dibutuhkan untuk memperbaiki birokrasi di negeri ini. Semoga bangsa kita bisa ! Langkah pertama adalah dimulai dari diri kita sendiri.

0 Komentar:

Posting Komentar