Oleh: al ustadz Fauzan Inzaghi
Membalas kritik ilmiyah seseorang dengan mengatakan "ilmu beliau lebih tinggi dari kamu,kamu ini siapa berani2nya ngeritik beliau"?
Heran ketika ada teman-teman yang mengkritik seseorang secara ilmiyah, tiba2 ada yang komen dgn balasan kata-kata "anda belum maqamnya" atau "ilmu anda ga seluas beliau". Memangnya siapa yang menentukan maqam dan luasnya ilmu itu sih?
Kedua, kata siapa kalau mengkritik harus satu maqam? Kadang kefanatikan kita pada satu tokoh bisa membuat kita mengeluarkan kata-kata seperti itu. Itu tandanya kita belum benar-benar memilih sesuatu karena Allah, tapi lebih karena faktor like dan dislike pada seorang tokoh tertentu.
Ok, kita masih bisa menerima jika jawaban seperti itu untuk membela ulama-ulama dilevel yang berbeda seperti syeikh albuty, syeikh abdullah bin bayyah, syeikh wahbah zuhayly, habib umar, syeikh nuruddin itr, habib zein sumaith, syeikh ali jumah, grand syeikh ahmad thayyib, abuya sayyid muhammad,habib salim syatiri dan ulama lain dilevel mereka.
Tapi perlu diketahui, sekedar share pengalaman (pengalaman ustadz fauzan inzhagi tentunya):
saya bermuamalah dengan sebagaian mereka bahkan berguru dengan sebagian mereka, bahkan berada dijalsah khas mereka, saya dapati mereka selalu mendengar kritik dari kami para murid, bahkan kadang kami berdebat, kadang diakhir perdebatan kami bisa sepakat dan kadang juga beda pendapat, itu biasa, dan saya tidak perlu berbasa-basi ilmiyah untuk itu, mereka dengan lapang dada menerimanya, setelah itu jalsah bisa kembali seperti semula. Itu hal biasa dalam suasana ilmiyah. Jadi banding-bandingan maqam dalam permasalahan ilmiyah itu sama sekali bukan manhaj ulama kita.
Nah setelah itu aku ingin mengingatkan satu hal, kita punya standar tertentu dalam rujukan ilmiyah, dimana dengan standar itu, kita dengan mudah membedakan mana ulama dan mana yang thalib ilmi level atas, dan menengah, mana mubtadi(santri baru), mana yang cuma pinter berbicara. Itu semua ada standarnya, ga modal like dislike doank. Dimedsos jika anda menemukan thalib level menengah apalagi muntahin, itu udah sangat bagus, dan kita akan memujinya, dan mempromosikannya, apalagi jika dia bisa mempermudah ilmu. Karena jarang ada ulama apalagi level tinggi yang punya waktu untuk aktif disosmed.
Tapi walau memuji, tetap saja, kita tidak menaikan level seseorang lebih dari kemampuannya. Nah kata-kata "dia lebih tinggi ilmunya" dari yang mengkritik itu sebenarnya bisa langsung bisa kita minta bukti dengan adanya standar ulama mengenai level keilmuwan "mana bukti ente katakan demikian?". Apakah dia menguasai kitab-kitab syuruh muktamad dan hawasyi muthawalat? Dalam ilmu kalam apakah dia bertalaqqy kitab syarah almawaqif? atau bahkan sekedar mathali? Dalam ilmu fikih dimana dia mengkhatamkan tuhfatul muhtaj? Dalam mantiq dengan siapa dia mengkhatamkan syarah syamsiyah misalnya? Dalam ushul fikih dengan ulama mana mengkhatamkan kitab muslim talwih misalnya? Dalam bahasa arab dimana dia mengkhatam mulla jami? Dalam ilmu hadis dengan siapa dia bermulazamah ilal abi hatim atau bahkan sekedar hadyu sary? Kalau belum ada, maka dia belum tembus untuk level muntahin. Bahkan masih level awal tingkat menengah.
Tentu saja untuk zaman ini orang dilevel bisa khatam iqtishad fil itikad, tadriburrawi, itqan bersama guru sudah sangat bagus, kita bisa mengatakan dia alim. Tapi menyebutnya ulama?! Apalagi ulama besar? Tunggu dulu, jangan rusak standar ulama, hanya untuk membela satu dua orang. Jangankan memberi gelar untuk orang yang belum mengkhatamkan kitab level muntahi tadi, sudah khatam pun belum tentu ulama, sampai ulama mengatakan dia sudah beneran menguasainya, apalagi yang belum khatam. Kalau otodidak? Orientalis pun bisa, pengakuan ulama mutakhasis dalam satu fan, jadi jangan sembarang mengulamakan seseorang. Oh memujinya sebagai orang alim? Silahkan selama cukup syarat. Merekomendasikan agar membaca tulisannya atau mendengar videonya? silahkan jika memang dilihat dia menguasai, tapi mengulamakan? Tunggu dulu!!
Jika ingin mengatakan ilmunya sangat tinggi lihat dulu sanad keilmuwan dan mulazamahnya. Standar ini semua bisa diterapkan tanpa perlu merendahkan seseorang, cukup mengatakan iya beliau alim, iya beliau thalib ilm yang bagus, tapi tetap saja beliau belum bisa dijadikan rujukan, apalagi ditinggikan melebihi apa yang beliau kuasai. Untuk awam sangat bagus diikuti, tapi thalib ilm mutaqaddim dipaksa mengikuti pendapatnya? Tentu saja mereka ga mau, mereka punya level sendiri. Letakan sesuatu pada tempatnya. Jangan berlebihan. Mau mengatakan fulan lebih alim dari fulan? Gampang saja, lihat saja buku apa yang telah beliau talqqqi dan ulama mutakhasis mengatakan "iya, dia telah menguasai kitab ini dengan benar". begitulah tradisi ilmiyah aswaja bertahan.
Kalau maqam lebih tinggi? Lah siapa yang mengakui. Ga ada yang tau kecuali allah. Atau kalau pun manusia, yang paling bisa dipercaya itu ya wali masyhur yang menyepakati terhadap maqam runaniyah seseoang, itupun dhanniyat, yang ga bisa dijadikan hujjah dalam membantah sebuah argumen ilmiyah. Walaupun demikian orang yang melewati standar itu belum tentu lebih baik dan lebih bermanfaat dari yang santri pemula, dilapangan semua tergantung keikhlasan, tapi untuk sebuah pemabahasan ilmiyah ya itu standarnya. Jangan dilebihkan dan jangan dikurangkan. Sebagaimana banyaknya pengikut dan viral bukan standar manfaat, tapi keikhlasan lah yang jadi standar, nah itu bukan ranah manusia yang membandingkan.
https://www.facebook.com/100014124163173/posts/1352187155262077/
0 Komentar:
Posting Komentar